SADAR KAWASAN : ‘’Kapan dan di Mana; Manusia Bebas, Berbatas, Hingga Tak Punya Akses’’

- Judul Buku : Sadar Kawasan
- Penulis : Pepep DW
- Editor : Stephy BW
- Soft-file buku (PDF) dipublikasikan melalui laman: https://sadarkawasan.wordpress.com/ https://nusalayaran.com
Buku ini berisi perjalanan kampanye Cagar Alam, di dalamnya memuat pemikiran, opini, dan sikap personal penulis yang diambil dari perjalanan kampanye. Setiap pendapat orang lain, data, dan referensi dicatat dengan kaidah kutipan literatur.
A. DASAR ETIKA LINGKUNGAN GENEALOGI KONSEP KAWASAN
“hak apa yang melekat pada alam”, serta “hak apa yang dimiliki manusia” terhadap alam. Hak (right dalam Bahasa Inggris) adalah ungkapan hal ikhwal “benar”, “kepemilikan”, “kewenangan”, dan “kekuasaan”. Adalah konsep “hak” yang merujuk pada “kekuasaan” yang melahirkan konsepsi “kawasan” yang menjadi landasan etis bagaimana kita memperlakukan suatu wilayah, tempat, subjek diri, serta totalitas materil di luar diri manusia.
B. ETIKA LINGKUNGAN : AGAMA, BUDAYA, MANUSIA
(keagamaan), dalam hal ini Islam adalah salah satu contoh yang dapat menunjukkan bagaimana agama formal secara fundamental juga mengatur hubungan manusia dengan lingkungan/alam secara detail. Tentu saja, karena agama landasan utamanya adalah tuhan, maka ketuhanan dengan sendirinya menjadi konsep utama dalam memperlakukan alam.
C. SADAR KAWASAN SEBAGAI DASAR ETIKA LINGKUNGAN
hak dan kekuasaan juga melekat pada alam, dengan demikian, merujuk pada konsepsi dasar etika lingkungan di mana moralitas menjadi landasan utamanya, baik itu moralitas manusia, dan di saat yang sama moralitas lingkungan/alam yang diposisikan sejajar atas otonominya, maka pendekatan “kawasan” adalah landasan penting fondasi hubungan manusia dan alam.
D. KEADAAN BUMI (RUMAH) KITA HARI INI
Dari 30% luas daratan Indonesia tersebut, pulau Jawa merupakan daratan/kepulauan Indonesia yang menjadi titik konsentrasi tinggi populasi manusia. Dari total penduduk Indonesia, hampir 160 juta lebih penduduknya tinggal di pulau Jawa dengan kepadatan mencapai 1.317 jiwa/km. Artinya, intervensi atau tekanan terhadap kawasan hutan, gunung-gunung begitu tinggi di pulau Jawa. Dari mulai kebutuhan tempat tinggal, kebutuhan primer sandang-pangan, hingga kebutuhan lainnya seperti pembangunan infrastuktur, termasuk jalan, hingga kebutuhan sarana wisata, yang semua kebutuhan tersebut tidak bisa dipungkiri terus melibatkan hutan sebagai tujuan eksploitasi dan eksplorasi
E. KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN BENCANA ALAM
Salah satu konsekwensi dari kerusakan alam adalah kesengsaraan dan bencana bagi manusia itu sendiri, alih-alih menghindari bencana, setiap kawasan hutan dan gunung-gunung semakin hari justru terus mendapatkan tekanan berupa eksploitasi dan eksplorasi manusia demi memenuhi kepentingan kapital secara berlebihan, Namun demikian, perlu diingat bahwa setiap pelanggaran di dalam kawasan tidak bisa disederhanakan karena sepenuhnya faktor dari si pelanggar, dalam banyak kasus seperti di CA Kamojang misalnya terjadi pelanggaran diakibatkan aturan kawasan telah lama dibiarkan tanpa diterapkan dan tanpa disosialisasikan dengan baik pada masyarakat.
F. KAWASAN: KONSEP KULTURAL DAN FORMAL
Falsafah yang menjadi pijakan keterjagaan kawasan konservasi salah satunya tercatat dalam bunyi dasar undang-undang konservasi, yaitu kalimat “kawasan sebagai sistem penyangga kehidupan” yang berarti keterjagaan kawasan berperan sebagai sistem tempat kehidupan dapat berlangsung. Dalam hal ini, penggunaan falsafah keterjagaan kawasan tidak berdasarkan “kawasan konservasi sebagai sistem penyangga ekonomi, dan seterusnya”
G. KONSEP BUDAYA
Tata Wayah
“Tata wayah” adalah landasan etis dalam memperlakukan alam dengan menggunakan dimensi “waktu” sebagai pegangan.
Wilayah
Jika “tata wayah” menjadikan waktu sebagai landasan etis manusia dalam memperlakukan alam, tata wilayah menjadikan ruang sebagai dimensi etis-nya, namun demikian, ruang dan waktu selalu berkaitan, bersifat resiprokal atau “saling” di mana waktu dengan sendirinya berlaku pada aturan yang diterapkan pada sebuah ruang, begitu pun sebaliknya
Lampah
Tata Lampah mengatur bagaimana hubungan manusia yang didasari oleh 1) waktu dan tempat yang hendak diperlakukan, 2) latar belakang atau motivasi perlakuan manusia terhadap suatu tempat, dalam konteks kultural masyarakat nusantara, kedua landasan tersebut juga tidak bisa dipisahkan dengan ajaran leluhur diyakini secara turun temurun, sebut saja ajaran tersebut dalam bentuk agama yang hidup pada masyarakat adat.
H. KERUSAKAN DAN PELANGGARAN PADA CAGAR ALAM SERTA IMPLIKASI-NYA
Jika diklasifikasikan, kerusakan dan pelanggaran di dalam kawasan cagar alam terjadi akibat beberapa kepentingan. Dari kepentingan untuk menyambung hidup mengais sesuap nasi, eksploitasi kandungan bumi, hingga kepentingan personal untuk sekadar rekreasi demi hasrat memuaskan hobi.
I. KESADARAN TERHADAP KAWASAN
Pernahkah ada, sebuah peristiwa di mana seseorang mencintai tanpa mengetahui apa yang ia cintai? Pernahkah? Seperti jatuh cinta terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui, jatuh cinta terhadap entah apa itu. “jatuh cinta” sebagai rasa, perasaan, mungkin saja bisa terjadi, tapi tidak dengan peristiwa jatuh cinta-nya itu sendiri.
J. PASCA FILM 5CM
Pasca film 5cm, setiap gunung seolah menjadi Gunung Semeru, seluruh danau seolah menjadi Ranu Kumbolo, dan karena itu semua laki-laki seolah menjadi Zafran yang menjadi aktor utama dalam setiap kisah pendakian. Sejak itu, khususnya sejak akhir tahun 2012, kunjungan terhadap gunung-gunung dan hutan belantara meningkat cukup signifikan.
K. BERHENTI MENDAKI GUNUNG
Pertanyaannya kemudian bagaimana dengan hiking, camping dan mendaki gunung di dalam kawasan cagar alam? Tidak ada satu pun pembenaran untuk setiap kegiatan tersebut, maka sebagai salah satu konsekwensi dari pada kampanye “sadar kawasan”, akhirnya setiap personal/individu dan komunitas yang tergabung dalam kampanye #saveciharus dan #sadarkawasan sepakat untuk berhenti mendaki gunung. Berhenti mendaki gunung dengan status cagar alam, berhenti mengunjungi cagar alam untuk sekadar rekreasi.
L. CAGAR ALAM DI BANDUNG RAYA
Di Bandung Raya, secara umum terdapat sembilan kawasan cagar alam, di antaranya; CA Papandayan, CA Kamojang (Barat dan Timur), CA Gunung Tilu, CA Gunung Simpang, CA Burangrang, CA Tangkubanparahu, CA Malabar, CA Junghuhn, dan CA Patengan (patenggang). CA Papandayan, Kamojang, Gunung Tilu, Gunung Simpang, Gunung Burangrang, dan Tangkubanparahu merupakan lima cagar alam yang memiliki luasan relatif besar (di atas 1000 Ha) dibanding CA lainnya di Bandung Raya.
M. DISKURSUS PENCINTA ALAM Relasi Kesadaran Identitas dan Alam Dalam Perspektif Postmodernitas
Tulisan ini dipresentasikan dalam sebuah diskusi terfokus bertajuk “Mendefinisikan Ulang Makna Pencinta Alam” yang diselenggarapan pada tahun 2017 di Gedung Indonesia Menggugat – Bandung. Acara ini diselenggarakan untuk mendiskusikan silang-pendapat yang terjadi di mana dalam beberapa kejadian, kampanye #sadarkawasan mendapat ‘serangan’ atau perlawanan dari subjek dan kelompok yang membawa nama “pencinta alam”.
Diskursus Formal Pencinta Alam
Pencinta alam atau pecinta alam adalah istilah yang dipergunakan untuk kelompok-kelompok yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam. Di Indonesia istilah ini merujuk pada kelompok yang bergerak di bidang petualangan alam bebas.
Genealogi: Ekspedisi dan Penaklukan, Implikasi Kerusakan Alam dan Lahirnya Konsep Pencinta Alam
Geneologi merupakan terminologi yang digunakan Michel Foucault dalam membongkar asal-usul wacana, konsep ini juga yang digunakan Edward Said dalam “orientalisme” untuk membongkar asal-usul kolonialisme. Dalam konteks kebudayaan lama Nusantara, sama sekali tidak dikenal istilah “pencinta alam” secara formal, Dalam konteks genealogi subjek-objek, manusiaalam, barangkali sejak saat itu konsep “mencintai alam” lahir. Dalam hal ini yang dimaksud sejarah kelahiran bukan tentang sejarah formal awal munculnya “perkumpulan pencinta alam”, melainkan wacana “mencintai alam”.
Pencinta Alam: Di Antara Kerusakan Alam Mutakhir
Disadari atau pun tidak, penggiat yang identik dengan pencinta alam merupakan sosok pertama yang membuka jalur tersebut, meramaikannya sebagai tempat tujuan camping atau sekedar lintas alam.
Mendefinisikan Ulang Makna Pencinta Alam: Ketika Identitas Pencinta Alam Digunakan Sebagai Bagian dari Perusakan Alam dan Pelanggaran Aturan Kawasan
Mendefinisikan ulang makna pencinta alam dengan melihat persoalan hari ini adalah usaha untuk merevisi pemikiran bahwa “alam adalah objek bagi para pencinta alam”, Pertimbangan tersebut diangkat berdasarkan fakta di lapangan –ketika kampanye #sadarkawasan dilaksanakan— di mana salah satu subjek yang menjadi bagian kerusakan alam adalah mereka yang menggunakan identitas pencinta alam.
CAGAR ALAM HARGA MATI