Seringkali kendala terbesar dalam upaya melakukan perubahan adalah perasaan lelah karena merasa berjuang sendirian, perasaan seperti ini yang kerap membuat motivasi melempem dan berujung pada ketidakkonsistenan.
Sumber Foto : https://ppid.blitarkab.go.id/2018/05/pemkab-blitar-masih-mencari-lokasi-pembangunan-tpa-sampah/
Ternyata, sulit sekali untuk mencapai zero waste (nol sampah), penuh perjuagan dan perjalanan yang sangat panjang. Jatuh bangun. “Hampir mustahil”, mungkin begitu pemikiran mayoritas masyarakat. Ya, pemikiran itu ada benarnya, di tengah kepungan segala macam kemasan plastik dan apapun sekali pakai, akan sangat sulit melepaskan diri dari sampah. Begitupun, diri saya.
Gaya hidup modern mendorong manusia untuk terus menerus membutuhkan banyak barang. Kita nggak sadar kalau membeli barang sama saja menghasilkan sampah, apalagi barang sekali pakai. Aktivitas manusia semakin beragam setiap harinya, dan semakin banyak pula barang dan produk yang dibeli sehingga sampah yang dihasilkan sudah melebihi dari kemampuan alam untuk menyerapnya. Bahkan kita lupa bahwa lautan dan sungai sudah tercemar, serta miliaran ton tumpukan sampah yang dihasilkan manusia tidak bisa terurai atau didaur ulang. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah meluap dan tidak lagi bisa menampung timbunan sampah.
Menyadari sistem pengolahan sampah di Indonesia yang belum maksimal dan gaya hidup modern dan konsumtif yang destruktif terhadap alam, pada akhirnya kita sudah tiba dalam kondisi dimana zero waste sangat diperlukan, demi kejar mimpi menyelamatkan bumi dan generasi manusia selanjutnya.
Apa itu zero waste?
Zero waste atau bebas sampah adalah sebuah konsep yang mengajak kita untuk menggunakan produk sekali pakai dengan lebih bijak untuk mengurangi jumlah dan dampak buruk dari sampah. Tujuannya adalah agar sampah tidak berakhir di TPA, menjaga sumber daya dan melestarikan alam.
“Zero Waste tidak hanya tren selewatan, Tetapi juga menjadi karakter bawaan”
Jika masih dalam proses mengurangi, menolak, dan berjuang untuk melepaskan diri dari berbagai jenis kemasan sekali pakai, semoga :
BERSIH DI TEMPAT KITA, MASALAH DI TEMPAT LAIN: TPA
Saat ini, sebagaian besar TPA (Tempat Pembuangan Akhir) masih menggunakan sistem Open Dumping. Seperti apa itu? Membuang sampah pada cekungan tanpa menggunakan tanah sebagai penutup sampah secara terbuka. Cara ini sudak tidak direkomendasi lagi oleh pemerintah karena tidak memenuhi syarat teknis suatu TPA sampah. Open dumping sangat potensial dalam mencemari lingkungan karena akan menyebabkan pencemaran air tanah oleh cairan lindi (air sampah dapat menyerap kedalam tanah), lalat, bau, serta sarang binatang, seperti tikus, kecoa, dan nyamuk.
Sebagian lainnya menggunakan Controlled Landfill. Controlled landfill adalah sistem pembuangan yang lebih berkembang dibanding open dumping. Dengan metode ini, sampah yang datang setiap hari diratakan dan dipadatkan dengan alat berat. Sampah dipadatkan menjadi sebuah sel. Selanjutnya, sampah yang sudah dipadatkan tersebut dilapisi dengan tanah setiap lima atau seminggu sekali, hal ini dilakukan untuk mengurangi bau, perkembangbiakan lalat, dan keluarnya gas metan. Selain itu, dibuat juga saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan, saluran pengumpul air lindi, instalasi pengelolahannya, pos pengendalian oprasional, dan pos pengendalian gas metan.
Data program Adipura KLHK 2017 mencatat sebanyak 43% TPA menggunakan sistem open dumping dan sisanya dengan Controlled/Sanitary Landfill.
“Kenyataannya, sampah hanya pindah tempat,” Menurut Prof. Enri Damanhuri, ahli persampahan Controlled/Sanitary Landfill
Controlled/Sanitary Landfill bukan berarti masalah sudah selesai, dengan mengeruk sampah menggunakan tanah, justru akan membuat lapisan tanah baru yang bercampur dengan sampah. Seperti kita tahu, plastic terurai setelah puluhan bahkan ratusan tahun tergantung dari bahannya. Selain itu, ada juga plastik yang tidak terurai, tetapi hancur menjadi mikroplastik.
Hal umum yang dilakukan untuk mengatasi sampah dengan cara kumpul-angkut-buang. Ya, dibuang sejauh mungkin dari pandangan mata kita agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Sebenarnya kita menyimpan bom waktu, sampah terus menerus diproduksi, populasi manusia terus bertambah, semuanya terus dibuang kesuatu tempat yang jauh dan tidak diperdulikan karena tidak dilihat atau dirasakan langsung dampak buruknya serta ancam keberlanjutan dikehidupan kita serta seluruh ekosistem.
Kita juga tidak pernah memikirkan saat hujan tiba, kondisi TPA yang terbuka dan banyak sampah terbawa oleh aliran air hingga jauh hingga berakhir dilautan. Belum lagi air lindi yang merember kedalam tanah akan mencemari air tanah. Tidak hanya itu, becek dan bau sampah juga membawa banyak bibit penyakit.
#REFLEKSI
GERAKAN 5R ATAU 5M
“Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot” (dalam bahasa Indonesia “Menolak, Mengurangi, Menggunakan Kembali, Mendaur Ulang, Membusukkan”).
Menurut DK Wardani di buku Menuju Rumah Minim Sampah, zero waste tidak hanya mengenai recycle atau mendaur ulang. Ini miskonsepsi yang umum terjadi. Sebenarnya, zero-waste itu dimulai dari refuse kemudian reduce dan reuse.
Saya sedikit mengubah urutanya dengan menempatkan rot pada urutan ketiga setelah reduce. Hal ini berdasarkan pengamatan saya, yaitu pentingnya pembusukan atau pengomposan di rumah, saya mengamati setiap rumah tangga pasti menghasilkan bahan organik yang jumlahnya signifikan, ini seperti hal yang lumrah. Di Indonesia, sisa bahan organik dapur akan masuk kantung kresek dan dibuang sama dengan plastik, kertas, dan lainya. Dalam pembahasan ini, saya menambahkan replace (mengganti) dan repair (memperbaiki) untuk melengkapi istilah reuse.
Diagram 5R oleh Bea Johnson
“Prioritas yang perlu dipelajari secara bertahap: RefuseRotReduce + RefillReuse (Repair, Replace)Recycle”
STRATEGI MENUJU KOTA MINIM SAMPAH
Menurut kota tanpa sampah (www.kotatanpasampah.id), kita juga dapat menggunakan 3 strategi untuk menuju rumah, lingkungan, dan tentu saja kota minim sampah yang pada akhirnya hidup tanpa sampah. Strategi itu disebut sebagai Strategi 3 Pintu.
Jika semua berjalan baik maka benar-benar tidak ada sampah yang dibuang ke TPS atau TPA, kota tanpa sampah.
Ilustrasi Strategi 3 Pintu :
CEGAH, PILAH, DAN OLAH
Disini kalau menurut DK Wardhani di buku menuju rumah minim sampah, ia berkata dalam tulisanya, Banyak yang sudah jengah dengan menumpuknya segala plastik (kantong kresek, bungkus sekali pakai, dan lainya), tetapi bingung cara mulainya. Salah satu tanggapan yang keliru dalam pengelolaan sisa anorganik ini,’’Untuk apa memilah jika petugas kebersihan, akhirnya, dicampur?‘’ Ya, iya, jika dibung di tong sampah rumah akan demikian, tetapi tujuan memilah ini untuk mengolahnya nanti.
CEGAH, jangan mau ada barang yang berpotensi menjadi sampah dirumah, tolaklah kantong kresek, sedotan, dan botol plastik sekali pakai. Ganti dengan tas belanja, botol air, dan wadah makanan yang dapat dipakai berulang, termasuk memperbaiki barang-barang yang rusak agar tercegah menjadi sampah.
PILAH, sebelum pilah, siapkan tempat tersendiri untuk tiap kategori, jika sudah dipilah-pilah, kita dapat mendaftar menjadi anggota bank sampah atau didonasikan di komunitas lainya.
OLAH, olah bahan-bahan sisa dirumah. Penting untuk memiliki komposter di rumah, untuk menampung bahan sisa organic dengan tujuan tidak tercampur dan tidak terbuang ke TPA, siapkan alat pengolahan bahan-bahan sisa baik organik dan anorganik (tempat sampah terpilah sesuai jenis komposter) secara bertahap
DK Wardhani berusaha tidak menyebutkan sebagai sampah dalam bukunya karena konotasinya negatif (materi tersebut sudah tidak berguna). Dengan mengganti sebutan sampah menjadi bahan sisa konsumsi, akan jelas pihak yang bertanggung jawab untuk mengelolanya.
MINIM SAMPAH MAHAL DAN RUMIT?
‘’Belajar zero waste (minim sampah) itu mahal dan rumit’’ pernah dengar anggapan seperti itu? Mungkin benar jika kita meniru gayanya, misalnya harus memakai sedotan stainless, sikat gigi bambu, memakai tas belanja, dan wadah-wadah merek tertentu, dan sebagainya. Sebenarnya, tidak juga jika kita memahami “perinsip kerjanya” atau filosifinya. Filosofi atau perinsip kerjanya adalah sedapat mungkin mencegah terjadinya sampah dan sedikit mungkin mengirimkan sampah ke TPA.
Dalam belajar zero qaste, memang tidak mudah. Meskipun demikian, kita dapat menujunya dan bukan sesuatu yang mustahil. Caranya? Disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Ada banyak cara yang ditempuh secara kreatif. Contohnya, ada yang mengeluh repot karena membawa wadah saat berbelanja kepasar karena membawa motor. Jika demikian, ganti wadahnya dengan kantong “blacu” atau “tule”. Dalam isi bukunya DK Wardhani menyebutkan bahwasanya ia menggunakan kantung souvenir dan bonus buku berupa tas, kecuali belanja daging dan ikan. Katanya ringan dibawa dan mudah dilipat.
Belajar zero waste mengembalikan kita pada kebiasaan lama yang sudah ditinggalkan, seperti kebiasaan memasak sendiri, membawa tas sendiri di pasar tradisional, membungkus makanan dengan daun pisang atau bahan alami lainya, makan buah dan sayur, serta membawa bekal sendiri, semua yang sebenarnya adalah kebiasaan lama.
TIP BAWA WADAH SAAT BELANJA
Menurut Sulityo Ningsih, hal dasar yang harus diperhatikan jika ingin memulai minim sampah, yaitu menolak penggunaan plastik saat berbelanja, baik kantong kresek untuk membawa semua belanjaan atau plastik kemasan. Bukan berarti harus tanpa plastik sama sekali karena kenyataannya karena beberapa produk, ada yang tidak bebas dari penggunaan plastik, kecuali kita mau meracik dengan bahan-bahan alami.
Apa saja produk yang tidak bebas plastik? Teman-teman pasti dapat menerkanya, seperti sabun mandi, sampo, terasi, mie instant, deterjen, dan lain-lain meskipun demikian, kita dapat berupaya untuk benar-benar meminimalkan penggunaan plastik ketika berbelanja. Salah satunya, membawa wadah yang dapat digunakan berulang (reusable), goodie bag, keranjang anyaman, dan lain-lain.
Biasanya, banyak yang mundur untuk menggunakan wadah belanja padahal sudah belajar zero waste, kenapa? Tidak percaya diri, kalah cepat dengan pedagang, disindir orang, dan lain-lain.
Jika demikian, bagaimana cara mengatasinya? Teman-teman dapat mengikuti tip berikut yang telah ditulis Sulistyoningtyas pada buku “menuju rumah minim sampah”, yang berisi caca belanja dengan membawa wadah ala Sulistyoningtyas agar percaya diri dan tidak perduli dengan sindiran orang.
Mari Bergerak Bersama!
Tempat sampah itu menunjukkan jati diri kita. Pola konsumsi, kebiasaan kita dapat terlihat dari ragam dan jenis sampah yang dihasilkan. Mungkin kita bukan siapa-siapa diantara seluruh penduduk bumi. Namun, setidaknya kita berusaha untuk memperparah keadaan. Mari kita lawan budaya “nyampah” dengan budaya “Zero Waste”.
Kita hanya tinggal di bumi. Jika bumi rusak maka kita tidak punya tempat tinggal lagi. Maka dari itu, mari kita jaga bumi ini bersama-sama.