BY DR. SUTIKNO BRONTO · MARCH 7, 2021
Gunung Api, termasuk Gunung Merapi yang berada diantara Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang merupakan sumber daya alam yang banyak mempunyai manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di sekitarnya. Sehingga pada perkembangannya, kawasan ini semakin dipadati oleh pemukiman maupun kegiatan usaha. Sementara itu karena keaktifannya, Gunung Api juga dapat menjadi sumber bencana bagi kehidupan manusia di sekitarnya. Dengan demikian, orang akan selalu berusaha untuk memanfaatkan sumber daya gunung api secara aman, menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.
Pada saat ini di kawasan Gunung Merapi , pengelolaan yang diinginkan tersebut belum dapat terlaksana dengan baik karena adanya perbedaan pandangan dan kepentingan dari berbagai pihak, khususnya dalam hal pengamanan pemukiman di kawasan rawan bencana.
Pemerintahan di tingkat Provinsi sudah mempunyai organisasi penanggulangan bencana bernama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (SATKORLAK PB, BAKORNAS, Kepres No. 106/1999), saat ini berubah menjadi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sedangkan untuk tingkat nasional bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun sejauh ini masih belum bisa mengatasi masalah secara tuntas dan komprehensif. Misal, kapan diperkirakan Gunung Merapi akan meletus atau kubah lava akan gugur dan memuntahkan lahar panas, seberapa besar letusan dan jangkauan awan panas serta berapa luas wilayah terdampak.
Peramalan akan datangnya bencana menjadi semakin sulit di prediksi untuk kategori letusan dan pembentukan awan panas berskala relatif kecil, misalnya awan panas dengan jarak luncur 5 km. Hal tersebut dikarenakan ilmu pengetahuan, teknologi dan peralatan yang belum mumpuni. Berdasarkan akan pertimbangan tersebut dan alasan “Untuk Tidak Mengambil Resiko”, maka daerah yang berdekatan dengan sumber bencana dinyatakan sebagai “Daerah Terlarang”, artinya daerah itu tidak boleh untuk pemukiman atau tempat tinggal.
Kebijakan tersebut ternyata menimbulkan beberapa masalah dalam aplikasinya, Penduduk yang sudah bermukim di daerah terlarang pada umumnya tidak mau pindah, apalagi dengan adanya kepercayaan bahwa jika Gunung Merapi meletus maka masyarakat sekitar akan mendapat tanda-tanda metafisik (dalam bahas Jawa : Wisik) sebelum bencana tersebut terjadi.
Bagi penduduk di daerah terlarang yang sudah terbiasa mencari makan dan beradaptasi di wilayah tersebut tentunya akan kesulitan jika dipindah dari tempat tinggalnya ke tempat yang baru, perlu penyesuaian dan pastinya dukungan agar tidak malah menjadi bencana kedua, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Persoalan lainnya adalah tentang penggalian pasir dan batu yang umumnya terletak di dalam lembah atau sungai yang terlalu dekat dengan sumber bahaya atau dalam lintasan awan panas.
Dikarenakan permasalahan tersebut, maka sepatutnya perlu dicarikan langkah-langkah dan upaya penanggulangan bencana yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat sekitar, hal ini dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :
1. Penyelidikan dan pemantauan kegiatan Gunung Merapi.
Kegiatan tersebut ditujukan untuk mengetahui potensi bahaya dan sifat-sifatnya. Potensi bahaya yaitu mencakup tanda-tanda awal terjadinya bencana, jenis bahaya, perkiraan arah bahaya dan daerah yang terancam. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan selama ini, bahaya utama pada daerah terlarang adalah serangan awan panas yang terbentuk akibat longsornya kubah lava di puncak Gunung Merapi. Karena waktunya belum bisa dipastkan, maka longsornya kubah lava dapat terjadi secara tiba-tiba. Berdasarkan mekanisme pergerakan dan komponennya, awan panas dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Awan Panas Aliran(Pyroclastic Flow) dan Awan Panas Surukan (Pyroclastic Surge).Awan panas surukan tersusun dari bahan padat berbutir debu sampai pasir sehingga cukup ringan. Akibat hembusan gas didalamnya maka awan panas surukan ini mampu melanda daerah puncak dan punggungan perbukitan. Meskipun temperaturnya cukup tinggi, namun kejadiannya sangat singkat seperti tiupan angin panas bercampur debu. Khusus untuk Gunung Merapi saat ini, arah gerakan awan panas umumnya ke barat daya, juga arah selatan dan barat laut. Berdasarkan pengamatan arah gerakan ini sebagian dapat diketahui sebelumnya. Berdasarkan panjang luncuran awan panas Gunung Merapi dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :
NO | Jarak Luncur | Waktu Kejadian | Contoh Letusan |
1 | Sangat Pendek (3 KM) | Sering (1-2 Tahun) | |
2 | Pendek (4-7 KM) | Kadang – kadang (3-10 Tahun) | 1970, 1973, 1979, 1984, 1992, 1994, 1998 |
3 | Menengah (8-10 KM) | Jarang (10-30 Tahun) | 1913, 1930, 1961 |
4 | Panjang (11-15 KM) | Sangat Jarang ( 30-50 Tahun) | 1080, 1780 (C-14), 1930, 1969 |
5 | Sangat Panjang | Prasejarah | 5050 S |
2. Penanggulangan Fisik
Dengan memperhatikan sifatnya, maka yang masih dapat ditanggulangi tanpa harus meninggalkan daerah pemukiman hanya awan panas surukan. Berdasarkan pengalaman terjadinya awan panas surukan, maka pemukiman di lereng dan punggungan bukit harus dilengkapi dengan dengan bangunan pengamanan darurat dibawah permukaan berupa rumah pendam (Bunker). Bunker juga perlu dibangun untuk kepentingan komunal misalnya di sekolah, terminal dan tempat-tempat wisata.
3. Komunikasi
Melakukan komunikasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat yang berada di sekitar daerah terlarang, terutama dengan sistem peringatan dini yang memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan bencana. Alat tradisional berupa kentongan, lonceng dan lainnya juga dapat digunakan sebagai komunikasi sistem peringatan dini.
4. Melakukan Pelatihan dan Sarasehan Penanggulangan Bencana Secara Berkala
Sarasehan bermaksud mengevaluasi kegiatan pemantauan Gunung Merapi atau untuk mengingatkan kepada masyarakat apabila tingkat kewaspadaan akan bahaya mulai menurun. Dengan pelatihan penanggulangan bencana diharapkan masyarakat mempunyai kesiap siagaan apabila terjadi bencana yang mengancam mereka. Masyarakat diharapkan tidak panik dan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Sarasehan dan pelatihan tersebut akan sangat baik dilaksanakan secara bersama-sama antara masyarakat yang tinggal di wilayah bencana, pemerintah dan lembaga terkait lainnya.
*Dr. Ir. Sutikno Bronto (Dosen Teknik Geologi STTNAS/ITNY, Staff Direktorat Vulkanologi)
(Arsip Buletin Kaonak Edisi 007/10 Februari 2002)