Skip to content

Memaknai Kemerdekaan Dari Kawasan Karst Indonesia

Pekik kemerdekaan menggema di seantero negeri pada tanggal 17 Agustus lalu. Berbagai kalangan merayakan kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 dengan caranya masing-masing.

 

Sejumlah pemerhati karst mengibarkan bendera merah putih di Tebing Kutalingkung, Bogor. Foto : Dokumentasi Latgab Jabodetabek

Kemelut pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai bahkan memaksa banyak orang menggelar upacara bendera secara daring di rumah masing-masing. Namun, tak sedikit pula yang melakukan upacara peringatan detik-detik kemerdekaan di dunia nyata sebagaimana biasa. Beberapa kalangan pemerhati karst misalnya, mereka memilih melakukan upacara bendera di kawasan karst yang berbeda namun dengan benang merah yang sama. Para pemerhati karst ini menekuri kembali makna kemerdekaan bagi karst dan lingkungannya yang selama ini masih terbelenggu oleh beragam konflik kepentingan.

Komunitas pencinta alam yang tergabung di Latgab Jabodetabek menggelar upacara detik-detik kemerdekaan di kawasan Tebing Kutalingkung, Bogor. Tebing Kutalingkung terletak di perbukitan karst Kalapanunggal. Kawasan karst ini sudah sejak tahun 1970-an menjadi lokasi pertambangan batugamping untuk beberapa perusahaan semen. Koordinator Latgab Jabodetabek, Andika Novriansyah mengatakan lebih dari 50 persen kawasan Karst Kalapanunggal merupakan areal pertambangan. Masyarakat di sekitar pertambangan menginginkan agar perusahaan yang melingkupi areal Tebing Kutalingkung bersedia mempertahankan dan menjaga kelestarian alam sekitar. Masyarakat juga berharap pihak perusahaan memberikan akses bagi warga sekitar untuk turut memanfaatkan dan mengelola potensi alam yang ada seperti sungai bawah tanah dan goa-goa yang memiliki potensi wisata.

“Kurang lebih ada 15 OPA yang terlibat (dalam upacara tersebut) dan masyarakat sekitar, kami (hanya) membantu Jaringan Masyarakat Peduli Karst Klapanunggal,” kata Andika melalui wawancara tertulis dengan gapadri.id pada Selasa, 18/08/2020.

Selain menuntut pelestarian Karst Kapalanunggal pemanfaatan potensi alam, Jaringan Masyarakat Peduli Karst Kalapanunggal juga menuntut Pemerintah meninjau kembali penetapan KBAK Bogor dan segera menetapkan RPP Karst yang sudah bertahun-tahun mangkrak di Sekretariat Negara. Peserta upacara, Putra Gemilang dari Mapala Universitas Sahid mengatakan potensi karst kalapanunggal sangat bagus. Mahasiswa hukum semester 5 ini menyayangkan jika Karst Kalapanunggal tidak dikelola dengan baik. “Dampak dari tambang udah terasa ke warga lokal,” ujar Putra prihatin.

600 kilometer dari Karst Kalapanunggal Bogor, pegiat Desa Wisata Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulonprogo mengadakan upacara bendera memperingati detik-detik kemerdekaan di kawasan Goa Wisata Kiskendo. Upacara ini diikuti 20 peserta yang terdiri dari pegiat wisata, karangtaruna, pencinta alam, anggota Koramil dan anggota Kepolisian Sektor Jatimulyo. Upacara bendera berlangsung dengan hikmat dengan menerapkan protokol Covid-19 yang ketat. Menurut Ketua Desa Wisata Jatimulyo Suisno, upacara bendera ini digagas oleh operator wisata Menoreh Adventure Experience. Selain untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 dan membangkitkan semangat nasionalisme generasi muda, upacara bendera ini juga dimanfaatkan untuk mempromosikan potensi-potensi wisata khususnya di Pegunungan Menoreh. 

Pengibaran bendera di Goa Sumelong, Kawasan Karst Menoreh, Kabupaten Kulonprogo. Foto : Fendi Riki

Atraksi pengibaran bendera dilakukan oleh dua orang pegiat penelusur goa dari Menoreh Adventure Experience di Goa Sumelong yang masih berada dalam kawasan Goa Wisata Kiskendo. Goa Sumelong merupakan goa vertikal (goa dengan akses masuk menyerupai sumur) dengan kedalaman 30 meter dari permukaan tanah. 

Di Kawasan Karst Malang Selatan, Mukti dari Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) Jawa Timur dan kelima rekannya melakukan upacara bendera di dalam Goa Prapatan JLS dua hari lebih awal yakni pada tanggal 15 Agustus 2020. Kegiatan yang dilakukan oleh Mukti dan rekan-rekan didasari oleh rasa penasaran terkait keberadaan Goa Prapatan yang tepat di bawah Jalur Lintas Selatan (JLS) yang sedang dibangun oleh pemerintah. 

Menurut Mukti, Goa Prapatan sebenarnya sudah pernah dieksplorasi oleh tim peneliti biologi dari UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2019. Hasil kajian tim biologi yang ditulis oleh Nur Shalekah dan dipublikasikan di Perpustakaan Digital UIN Sunan Ampel ini memaparkan Goa Prapatan JLS memiliki indeks kemerataan diversitas kelelawar tertinggi di Kawasan Karst Malang Selatan. Goa Prapatan JLS memiliki delapan spesies kelelawar, tujuh spesies berstatus LC (Least Concern) atau berisiko rendah dan satu spesies berstatus VU (Vulnerable) atau rentan punah di masa depan (berdasarkan status IUCN)

Pengibaran bendera merah putih di Goa Prapatan JLS, Kawasan Karst Malang Selatan. Foto : Dokumentasi Jhe Mukti

Namun saat kami melakukan pemetaan goa ini, kami hanya mendapati tidak lebih dari dua ekor kelelawar saja,” kata Mukti. Temuan lain yang berhasil diidentifikasi Mukti dan rekan-rekannya adalah banyaknya material tanah setebal 1-2 meter di dalam goa. Mukti menduga timbunan tanah ini merupakan tanah pucuk (hasil kupasan) yang terbawa masuk ke dalam goa saat hujan. Selain timbunan material tanah sisa proyek, Mukti dan tim juga menemukan adanya aliran sungai bawah tanah yang mengalir di dalam Goa Prapatan JLS. 

Agak berbeda dengan upacara-upacara lainnya di masa pandemi yang umumnya dihadiri sedikit peserta, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengadakan upacara bendera 17-an yang “cukup meriah” di kawasan Karst Sukolilo Kabupaten Pati. Sejumlah perwakilan masyarakat dari Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang turut hadir. Upacara bendera ala masyarakat Pegunungan Kendeng ini agak unik, pasalnya bendera merah putih tidak dinaikkan dengan tali seperti pada umumnya. Pengibar bendera memanjat tiang bambu setinggi sembilan meter kemudian mengikat bendera di ujung tiang. 

Pengibaran bendera merah putih dalam upacara rakyat di Kawasan Karst Sukolilo, Kabupaten Pati. Foto : Arsip JMPPK

Masyarakat Pegunungan Kendeng yang mayoritas petani sejak tahun 2006 hingga saat ini mengalami konflik berkepanjangan dengan berbagai perusahaan yang ingin mengeksploitasi Karst Sukolilo untuk bahan baku semen. Dalam upacara bendera kali ini, masyarakat Pegunungan Kendeng menyampaikan pentingnya menjaga ketahanan pangan dengan melakukan penguatan sumber-sumber pangan di seluruh negeri, terlebih di saat pandemi Covid-19 yang membekap hampir seluruh negara di dunia. Masyarakat juga menyampaikan perlunya pertobatan ekologis di mana kita memiliki kesadaran kolektif bahwa alam sudah lama terganggu keseimbangannya. 

Perlawanan masyarakat Pegunungan Kendeng dengan cara terus menanam (mengukuhkan diri untuk bertani) semata-mata bertujuan menjadikan Republik Indonesia sebagai bangsa yang luhur, yang menjadi tuan di tanahnya sendiri. Bagi masyarakat Pegunungan Kendeng, mengibarkan MERAH PUTIH bukan sekedar seremoni saja, melainkan kecintaan yang mendalam terhadap Republik Indonesia. Bumi tempat berpijak yang harus terus dihidupi dengan cara menjawab segala tantangan yang ada.