Skip to content

SEGENGGAM EIDELWEISS MERBABU

 

01 Agustus 2020 / By: Hadirin Azhar

Para peserta pendakian Gunung Merbabu. Foto : Dokumentasi Hadirin Azhar

Aktivitas mahasiswa di kampus Akademi Teknologi Nasional (ATNAS) Yogyakarta sedang marak-maraknya ketika saya selesai menjabat Ketua Umum Dewan Mahasiswa (DEMA) ATNAS periode 1977-1978. Suatu hari Cliff yang aktif mendaki gunung, mengiming-imingi saya jika ia akan mendaki Gunung Merbabu. Menariknya, beberapa mahasiswi Akademi Wanita (AKWA) Yogyakarta akan turut serta dalam pendakian itu. Dua teman karib saya dari AKWA, Sri dan Nurul juga bergabung, keduanya adalah aktivis mahasiswa di Yogyakarta. Sri adalah mantan Ketua DEMA AKWA. Kehadiran dua sahabat itu membuat saya bertekad untuk “melawan takdir”, ikut dalam pendakian ke Merbabu, meski badan saya kurus dan fisik tidak terlatih.

Singkat cerita, saya mulai berjibaku dengan gelapnya malam saat pendakian. Udara terasa sangat dingin menjelang tengah malam. Tubuhku yang kurus tak sanggup meredam dingin yang menusuk tulang. Ah…rasanya tak sanggup lagi saya melangkahkan kaki mendaki ke atas. Beruntung saya punya Cliff malam itu, dengan santainya ia terus mendorong saya dari belakang. Cliff memberi saya TONIKUM BAYER agar saya lebih bertenaga. Sri juga terus memberi saya semangat untuk berjuang menggapai puncak Merbabu. Sesekali ia melontarkan ledekan “Perempuan saja mampu masak cowok loyo,” kata Sri yang masih terus terngiang hingga saat ini. Untuk melawan dingin, Cliff memberi saya tips “Kalau cowok kedinginan obatnya tangan masuk selangkangan, kalau cewek yang kedinginan obatnya tangan masuk ke dada,” Oceh Cliff berlagak serius.

Alhamdulilah menjelang subuh rombongan kami sampai juga di puncak Gunung Merbabu. Tak lama kemudian matahari mulai mengintip dengan memamerkan cahaya merahnya di ufuk timur. Saat itu ada kepuasan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, pengalaman pertama saya di  alam terbuka, di puncak Gunung Merbabu.

Memetik Eidelweiss

Cliff RCM memberitahu bahwa kami tidak bisa terlalu lama berada di puncak Merbabu, dan harus segera turun jika tidak ingin terjebak awan dan hujan. Di alam terbuka cuaca memang cepat berubah. Pagi yang cerah tak bertahan lama, sekilas saja langit mulai gelap tertutup mendung. Kami pun bergegas turun. Sepanjang perjalanan turun, saya baru menyadari bunga Eidelwies menghampar di sepanjang jalur turun di lereng puncak Merbabu. Bunga Eidelweiss adalah bunga abadi, setidaknya itu yang sering saya dengar dari teman-teman MAPALA. 

Tiba-tiba naluri menuntunku untuk memetik beberapa tangkai Eidelweiss dengan tangan sendiri. Sekedar untuk kenangan di Kota Yogyakarta nanti. Padahal sebelumnya banyak teman-teman yang pernah membawakanku bunga ini. Tapi entah kenapa saya pagi itu begitu saja tergerak memetiknya. Segenggam Eidelweiss telah ada di genggaman tanganku. 

Keasyikan termenung-menung di hamparan padang Eidelwiess, saya tidak menyadari jika saya telah tertinggal oleh rombongan. Sekali lagi saya beruntung, Cliff tidak meninggalkan saya. Ia bilang sebaiknya kami segera turun sekaligus bertugas menjadi tim penjaring. Tim penjaring bertanggungjawab memantau jika ada anggota tim yang tertinggal. Petaka itu pun datang. Hujan turun dengan lebatnya. Kondisi fisik saya sudah drop karena kelelahan dan kedinginan, ditambah hujan yang mengguyur, membuat tulang-tulang serasa mau copot. Namun uniknya, saya masih bisa mempertahankan tangkai-tangkai bunga Eidelweiss di dalam genggaman tangan. 

Penderitaan saya berakhir begitu kami mulai memasuki perkampungan. Tak menunggu lama, kami segera naik angkutan umum menuju terminal bus di Kota Magelang. Dalam perjalanan bus menuju Kota Yogyakarta saya tertidur pulas, mungkin karena terlalu lelah. Saya terbangun ketika bus sudah sampai di Kota Yogyakarta. 

Saya pun sampai kembali di tempat kos di daerah Lempuyangan. Cerita punya cerita, sudah lama sebenarnya saya menaruh hati pada anak tetangga yang baru datang dari Kalimantan. Namanya Nooraini Susilowati. Ayahnya asli Kalimantan dan ibunya asli Lempuyangan. Hari itu saya memberanikan diri mendatanginya dengan segenggam Eidelweiss yang saya petik dengan tangan sendiri di lereng Gunung Merbabu. Ah…hati saya senang tiada terkira, gadis pujaan menerima bunga itu dengan senyum tersungging di bibirnya. 

Waktu melesat tak terkira cepatnya. Gadis yang dulu tersenyum saat kubawakan Eidelweiss itu, kini telah memberiku dua orang anak dan lima orang cucu.

* Catatan Redaksi : Tulisan ini berdasarkan kisah yang terjadi di era akhir tahun 70-an. Bunga Eidelwies (Anaphalis javanica) saat ini termasuk tumbuhan yang dilindungi oleh UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Bunga Eidelwies ini tercantum dalam daftar Nomor 798 lampiran Permenlhk P.92/2018 yang mewajibkan suatu jenis satwa atau tumbuhan yang wajib dilindungi apabila :

  1. Mempunyai populasi yang kecil,
  2. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam,
  3. Daerah penyebaran yang terbatas.

Bagi yang melanggar ketentuan tersebut terancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), berdasarkan pasal 40 ayat 2 UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya.

(Editor : Abe)