Skip to content

Kisah Aku dan Sahabat

Basecamp Lancang Kuning, dari kiri ke kanan : Yandra, Rochendi (alm), Cliff, Noegroho, Charlie, Mr. X. Foto : Dok. Yandra
Sekilas Tentang Sanggar

Hari itu, aku pulang ke sanggar agak siang. Sanggar adalah tempat kost yang aku tempati bersama Edi, Ujang Suryadi dan Asril Ungut. Nama sanggar tersebut terlontar dari mulut Kang Hadirin dan Sudirman Padlim ketika mereka bertandang kesana.

Izub, tempat mu ini kayak sanggar aja,” ujar mereka saat itu.

Yaa…Sanggar Lancang Kuning,”  ujarku sambil senyum.

Teman-teman yang berkumpul di sana tertawa-tawa semua. Ada yang main gitar, bernyanyi dan bermacam-macam canda tawa ala anak muda saat itu.

Sanggar yang kami tempati itu berjarak sekitar 400 meter dari kampus ATNAS, tepatnya di daerah Tegal Kemuning, persis di belakang gudang Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Kami berempat menyewa paviliun belakang rumah induk seorang pensiunan pegawai PJKA,  terdiri dari tiga kamar dan satu kamar mandi.

Teman-teman kampus senang ngumpul disana. Hampir semua aktivis kampus lintas angkatan nongkrong di sanggar dan bahkan menjadi tempat singgah mahasiswi  AKWA (Akademi Wanita) yang sering nongkrong bareng bersama anak-anak ATNAS.

Apabila ATNAS mengadakan acara di kampus maupun di gedung,  mahasiswi AKWA berperan sebagai pagar ayu dan begitu juga sebaliknya apabila mereka mengadakan acara mahasiswa ATNAS sebagai bodyguard dan bertanggung jawab mengantar mereka pulang ke tempat kost masing-masing.

Biasanya tugas tersebut menjadi urusan humas yang saat itu beranggotakan Teguh, Koad, Yandra, Ujang dan Cliff RCM. Kegiatan extra kampus kala itu hulunya berawal dari sanggar, baik itu acara adventure maupun sepakbola.

Antara Sahabat dan Dinamika Kuliah

“Egois, pergi nggak kasih tau,” kata Ujang dengan nada kesal.

“Artinya dia sudah maju selangkah,“ jawab Edi menimpali dengan santai.

Aku tengah berada di kamar dan baru saja merebahkan diri di kasur saat itu, ketika  terdengar suara percakapan Ujang dan Edi di luar. Aku pun bangun dan beranjak keluar kamar mendengar keributan itu.

“Apa yang terjadi, kok ribut amat,” tanyaku.

Mereka saling berpandangan heran dan  melihat ke arah ku.

“Jadi kamu belum tau?,” tanya Edi.

“Asril Ungut sudah berangkat praktek kerja ke Palembang bersama Nazarinda di PT. PUSRI,” sambung Edi.

“Wah, hebat, mantap,” ujarku kagum.

“Iya mantap sih, tapi kita sebagai teman satu kost mestinya diberi tau mau kemana kek,” ujar Ujang kesal.

Aku juga heran kenapa Asril tidak memberi tahu kami sebelumnya. Apakah dia sengaja memberi kejutan kepada kami agar tidak terlalu santai, atau ada hal yang lainnya.  Aku hanya bisa bergumam dalam hati dan berfikir lebih jauh lagi.

Kami berempat pada pertengahan tahun 1979 telah menyelesaikan hampir semua mata kuliah dan praktek di ATNAS. Kala itu hanya tinggal praktek kerja lapangan, skripsi dan ujian skripsi (pendadaran), setelah itu ujian Negara. Aku sendiri hanya tinggal satu mata kuliah Ilmu Pompa sejak dari semester dua sampai semester enam aku tak pernah lulus. Berkali-kali kucoba mengikuti ujian, namun hasilnya tetap TL (Tidak Lulus)

Entah mengapa, aku kapok dan keki sekali. Pernah suatu waktu aku mencoba menjadi joki untuk mata kuliah tersebut buat teman dan hasilnya teman itu lulus. Artinya aku nggak bodoh amat untuk mata kuliah tersebut.

“Ujang, Edi, kalian berdua mau praktek kerja di mana?,”  tanyaku memecah kesunyian.

“Aku praktek kerja di sini aja,” jawab Ujang singkat.

“Aku ingin praktek kerja di PT. CPI,” jawab Edi sambil  memandang mataku dengan tajam.

Sebagai seorang yang punya naluri membaca perasaan (feeling), Edi sangat  tajam mencoba membaca fikiranku saat itu.

PT Caltex Pasific Indonesia (PT CPI) adalah sebuah perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas bumi di daerah Riau. Pada saat itu PT CPI merupakan penghasil devisa terbesar bagi Indonesia dengan produksi sekitar 750.000 – 1.000.000 barrel per hari.

“Izub, ayo kita sama-sama ke CPI,” ajak Edi.

Aku hanya diam membisu, kemudian berdiri dan kembali melangkah masuk kamar melanjutkan tidur. Otakku mumet berfikir tentang obsesi yang telah tertanam dalam hati ketika masih remaja, yaitu ingin berdiri di Puncak Jayawijaya. Aku ingin kerja praktek ke Freeport sesungguhnya, tapi aku tak ingin mematahkan semangat Edi untuk praktek ke PT. CPI.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Edi sudah bangun, kemudian mandi, sholat dan merebus air untuk mempersiapkan sarapan pagi. Aku dan Ujang kemudian bangun dan melakukan hal yang sama.

“Pagi ini aku mau mendaftar untuk kerja praktek,” ujar Edi kalem.

Aku dan Ujang saling berpandangan dan serempak mengangguk.

“Sukses ya Edi,” ucapku datar.

Ujang tersenyum memandang ke arah Edi sambil mengedipkan matanya. Aku tak mengerti maksud mereka. Edy pun berangkat ke kampus, sementara aku dan Ujang sibuk mempersiapkan seragam bola di sanggar, melipat satu persatu seragam menyesuaikan dengan celana yang akan dipakai nanti sore bertanding di daerah Bantul.

Tiba-tiba Bang Marlius muncul di sanggar dan bertanya kepada kami.

“Pada kemana yang lain? Jadi kalian bertanding nanti sore?,”tanyanya.

“Jadi Bang Lius,” jawab Ujang singkat.

“Konsumsi udah bereskah?,” tanya Marlius lagi.

“Belum bang, aku belum ke kampus ambil dananya,”  jawabku cepat.

“O, kalau begitu biar aku yang urus,” katanya lagi sambil ngeloyor pergi.

Untuk urusan kesejahteraan pemain bola dan Mapala, Bang Marlius sangat perhatian kepada kami apabila akan melakukan kegiatan.

Tak lama kemudian Pipin datang bersama Adytiawarman atau yang biasa kami panggil Menoti Atnas (pelatih sepakbola). Pipin kemudian membantu Ujang melipat pakaian seragam, sedangkan aku merebus telur ayam untuk extra fooding sebelum bertanding yang dibeli secara patungan antar pemain. Tak lama kemudian teman-teman pemain bola berdatangan, kemudian berkumpul,briefing, atur strategi pertandingan dan berangkat bareng menuju tempat bertanding.  Begitulah kesibukan kecil yang biasa kami lakukan bersama sebelum bertanding, saling membantu bergotong royong

Menanti Kabar Gembira

Sebulan telah berlalu. Edi terlihat begitu gelisah karena panggilan dari PT CPI belum juga datang. Dia rajin bolak balik ke kampus untuk menanyakan perihal permohonan kerja praktek lapangan ke PT CPI agar di follow up terus oleh pihak Akademi. Aku salut dengan kegigihan Edi.

Hari itu Ujang mengikuti kuliah Ketel Uap. Aku dan Edi sudah lulus mata kuliah tersebut. Edi duduk di posko Menwa, sedangkan aku sendiri nongkrong di kantin membantu Desy mengerjakan PR Matematika. Desy adalah anak pemilik kantin yang kala itu masih SMA.

Tak lama kemudian, Edi menyusulku ke kantin.

“Des, minta Dji Sam Soe sebatang, sekalian kopinya ya?” kata Edi yang kemudian duduk di hadapanku.

“Dua hari yang lalu aku menemui Pak Tukiman (Direktur ATNAS) menanyakan tentang kerja praktek lapangan ke PT CPI.  Beliau malah balik bertanya, Apakah kamu anak karyawan CPI. Aku beritahu  beliau bahwa kami hanya putra daerah yang ingin praktek kerja ke CPI, aku ceritakan semua tentang orang tua kita dan aku mohon agar beliau mempercepat prosesnya,” cerita Edi.

“Respon beliau bagaimana,” tanyaku.

“Akademi sudah mengirimkan permohonan ke CPI dua minggu yang lalu, tapi belum ada jawaban,” jawab Edi dengan nada pesimis.

“Ooooo, sabar Ed, mudah-mudahan doanya makbul,” ujarku sambil senyum.

Berpose di lereng selatan Gunung Merapi. kiri ke kanan : Edy, Ujang, Ms.X , Koad, Izub, Yandra, Fakrudin. Foto : Dok. Yandra

Desy datang meletakkan minuman dan memberikan sebatang Dji Sam Soe pesanan Edi, kemudian menyusun buku matematika yang masih tergeletak di meja dan memasukannya ke dalam tas.

”Bang Izub, aku pergi dulu ya,” ujar Desy berpamitan dan kujawab dengan anggukan.

 “Des, ini gratis kan,” timpal Edi sambil menunjuk gelas yang ada di meja. ”Huuuuu,” cibir Desi sambil beranjak pergi.

Jelang siang, saat mata kuliah Ketel Uap usai, Ujang dan Arifin menghampiri meja kami. Kantin pun mulai ramai, ada yang makan siang, ada yang hanya sekedar minum kopi atau teh serta merokok seperti kami.

Tak lama berselang, Andi dan Pipin datang menghampiri kami. Mereka baru saja tiba dari dari Krasak (kantor Tata Usaha/ Personalia Akademik). Andi langsung menghampiri Edi dan berbisik di telinganya. Wajah Edi memucat mendengar bisikan Andi, diiringi dengan bibir yang bergetar.

Edi kemudian berdiri dan berjalan menuju Krasak.

“Ada apa Andi?,” tanyaku khawatir.

Ujang menyambar kopi yang ditinggal kan Edi dan langsung menyeruput nya dengan nikmat. Saat itu Pipin, Cliff , Hadirin, Dirman dan Tommy duduk satu meja.

Beberapa saat kemudian, Edi kembali menghampiri kami dan di tangannya kulihat sebuah amplop putih berukuran khusus. Wajahnya sumringah dan bersemangat. Dia kemudian meletakan amplop itu kehadapanku.

“Bacalah,” ujar Edi dengan nada semangat.

Aku terperangah melihat logo di amplop itu. Tertera logo dan tulisan PT CPI. Aku kemudian menarik lembaran surat di dalamnya dan mendapati kejutan kedua bagiku. Surat dalam bahasa Inggris itu diawali dengan kata congratulation, kemudian kalimat pengantar surat yang menerangkan bahwa namaku dan Edi diterima melakukan kerja praktek di PT CPI.

Aku mengamati kalimat demi kalimat mencari sesuatu yang meyakini bahwa semua biaya transportasi dan akomodasi sejak berangkat dan  selama training hingga kembali di tanggung pihak perusahaan PT CPI.

 Alhamdulillah, setinggi puji sedalam syukur, aku kemudian menjabat tangan Edi.

“Terima kasih sobat,” ujarku.

Teman-teman semua yang ada di situ kemudian mengerumuni kami dan membaca isi surat tersebut. Mereka semua gembira dan bangga menyalami kami berdua.

“Semoga terbang tinggi, Izub, Edi,” ujar Hadirin.

Pucuk Dicinta

Medio September, hari Minggu pagi itu aku dan Edi mempersiapkan segala keperluan keberangkatan kami. Edi telah selesai mengepak barang yang perlu dibawa ke dalam tasnya. Sedangkan aku hanya melipat pakaian yang perlu saja ke dalam sebuah carrier (ransel gunung) warna biru kesukaanku pemberian dari Cliff RCM (Terima kasih sobatku Cliff, hadiah yang tak terlupakan). Ujang memangkas rambut kami berdua, biar kelihatan lebih bersih dan ganteng katanya.

Sore harinya, teman-teman mengantar kami ke Stasiun Tugu. Aku dan Edi naik becak dari sanggar ke stasiun, sedangkan rekan-rekan mengiringi kami naik motor. Prediksi kami, besok pagi KA Senja Utama tiba di Stasiun Gambir dan dari sana kami berencana naik taksi ke Bandara Halim Perdanakusuma.

Seperti yang kami rencanakan, pukul 08.00 WIB kami sampai di Jakarta, kemudian langsung mandi setengah badan di stasiun, dilanjutkan sarapan pagi dan naik taksi ke Bandara Halim. Kami kemudian mencari counter Pelita Air, pesawat penumpang yang khusus melayani karyawan PT CPI. Setelah check in, kami langsung masuk ke ruang tunggu.

Saat tiba di ruang tunggu, di sana sudah berdiri sekelompok mahasiswa dengan jaket almamater masing-masing. Lima perguruan tinggi terkemuka Indonesia, sambil bergumam aku memperhatikan almamater mereka dan menoleh ke Edi kemudian mencubitnya.

Kami kemudian mendekati dua orang yang memakai jaket dan kaos putih dengan logo bunga Padma  (logo Universitas Gajah Mada). Kami menghampiri mereka karena merasa berasal dari satu kota yang sama, Yogyakarta. Setelah berkenalan, kami mengetahui nama mereka masing-masing yaitu Mudzakir yang berasal dari daerah Kauman dan Slamet dari daerah Bantul.

Dari perawakannya, Mudzakir memiliki perawakan yang tinggi sekitar 175 sentimeter, sedangkan Slamet sekitar 163 sentimeter. Sehingga apabila mereka berdiri bersama, terlihat sangat kontras. Jiwa usilku pun timbul untuk bercanda bersama mereka.

“Pasangan yang saling membutuhkan,”  ujarku berseloroh, yang dijawab dengan senyum kecut Mudzakir.

Slamet kemudian memandangku sebentar dan bertanya, “Mas, kampus ATNAS itu di mana yah?,” tanyanya.

“Di Jalan Yos Sudarso, dekat Stadion Kridosono,” Edi menjawab dengan Polos.

Slamet kemudian melirikku sembari membalikkan jempol ke bawah. Kali ini giliranku yang tersenyum kecut dan aku mengerti maksudnya, ‘Skak Mat’. Masa itu, Kampus ATNAS hanya sebuah gedung tua yang belum ada apa-apanya.

Mahasiswa yang satu rombongan dengan kami semuanya merupakan mahasiswa yang mendapat beasiswa dari PT CPI. Mereka di antaranya empat orang berasal dari UI, empat orang dari ITB, empat orang dari ITS, empat orang dari Unair, dua orang dari UGM dan kami berdua dari ATNAS. Total kami ada 19 orang yang akan mengikuti pratical training (kerja praktek) di PT. CPI.

Pukul 12.30 WIB, pesawat yang kami tumpangi take off dari Halim menuju Pekanbaru dan tiba pukul 14.30 WIB di bandara simpang tiga (Sultan Syarif  Kasim). Setelah berfoto bersama dengan latar pesawat Pelita Air, kami berjalan menuju bus karyawan PT. CPI yang telah menunggu kami untuk melanjutkan perjalanan ke Rumbai, main office PT. CPI.

Rumbai adalah suatu area perumahan dan perkantoran PT. CPI yang tertutup bagi masyarakat umum di sekeliling area dan dipasangi pagar kawat anyaman yang kokoh setinggi dua meter. Bayangan akan kenangan masa kecil kami muncul, di kala aku, Edi dan Asril Ungut sering memanjat pagar itu hanya untuk mandi dan berenang di Sungai Ambang, sebuah danau kecil yang digali sebagai  sumber air bagi PT. CPI. Kenangan kami yang selalu dikejar-kejar security PT. CPI apabila ketahuan dan kami sangat hapal kapan saat mereka lengah berpatroli. Masa kecil yang penuh tantangan dan sukar dilupakan.

Kami semua turun di Training Center disambut oleh manajer personalia. Setelah perkenalan dan pengarahan serta tanya jawab, selanjutnya menentukan tempat tinggal selama training di Rumbai. Aku dan Edi tinggal di portacamp,  sedangkan lainnya guest house. Portacamp adalah tempat menginap dengan bentuk dari luar terlihat persis kontainer yang di dalamnya disulap menjadi kamar tidur dilengkapi AC, kamar mandi dan toilet, meja tulis, lemari pakaian, cermin dan perabot lainnya. Semua kebutuhan pribadi seperti sabun, handuk, sikat gigi dan lainnya juga tersedia, komplit.

Di atas meja juga tersedia writing pad, balpoint, form permintaan kebutuhan, serta inventaris barang yang dipinjamkan seperti safety shoes, helmet, ear plug, badge practical training yang mesti dikembalikan bila telah usai. Badge selain sebagai ID (Identification Card) juga berfungsi sebagai tanda masuk ke sarana olahraga, mess, hall, club, tempat hiburan dan lainnya. Bangunan perkantoran, pemukiman dan suasana kehidupan masyarakat di sana bergaya western.

Program kerja praktek lapangan yang telah disusun PT. CPI kuamati dengan teliti. Ternyata aku dan Edi mendapat program yang berbeda. Aku dikonsentrasikan ke field area dan Edi lebih fokus ke shop. Hari pertama kami masih tetap bersama mengikuti safety training. Setelah makan siang, Edi diberangkatkan ke Duri dan aku diarahkan ke Minas area, kemudian ke Libo, Petapahan, Pinggir, Duri Area, Bangko, Balam dan pengapalan minyak (Marine section) Dumai.

Beberapa kali aku jumpa Edi di mess hall saat sarapan pagi dan makan malam. Saat bertemu kami habiskan waktu untuk ngobrol, diskusi, saling tukar informasi, buat draft laporan kerja, dan lainnya.

Tiga bulan masa waktu praktek kerja kami lalui dengan cepat. Siang itu aku bertemu Edi di terminal bus karyawan dan sama-sama akan kembali ke portacamp di Rumbai. Kami diberi waktu membuat laporan kerja selama lima hari, sesuai dengan hari kerja PT. CPI. Kami mengerjakan laporan di ruangan yang telah tersedia keperluan pembuatan laporan, seperti mesin tik, kertas dan lainnya. Laporan kami gabung menjadi satu (field and shop). Laporan yang cukup melelahkan. Pada lembaran terakhir mesti ada kesimpulan kritik dan saran bagi PT. CPI.

Pada kolom kritik dan saran aku menulis karena tumpahan minyak mentah (crude oil) yang dibuang ke daerah rawa sehingga merusak alam dan lingkungan sekitarnya di sekitar area lapangan minyak. Edi tidak sependapat denganku.

“Kritiknya terlalu keras, nanti bermasalah pada kampus dan adik-adik kita yang mau praktek di sini kelak,” ujar Edi sengit.

Aku mengalah dan mengubah kalimatnya dengan bahasa yang lebih halus, tapi intinya tetap menunjukan bahwa tumpahan minyak yang tidak terkontrol itu tetap berdampak pada rusaknya alam lingkungan sekitarnya. Kami kemudian memberi saran dengan cara membuat beberapa pit control (pengumpul) ditambah dengan saringan untuk mengurangi pencemaran limbah minyak tersebut. Laporan kami buat lima rangkap, satu untuk PT. CPI, dua untuk Akademi dan dua sebagai arsip kami berdua.

Senin pagi kami datang ke personalia dan menyerahkan laporan untuk ditandatangani dan persetujuan PT. CPI. Kami di suruh menunggu, namun hingga pukul 12.00 wib masih belum ada kepastian. Kami kemudian menuju mess hall untuk makan siang. Sekitar pukul 13.00 wib kami kembali lagi ke personalia. Di sana telah ramai orang berkumpul menunggu seperti kami juga. Tak berapa lama kemudian kami dipanggil personalia ke ruangannya.

“Kebetulan siang ini ada tes penerimaan karyawan, maka kalian berdua kami beri kesempatan untuk mengikuti test karyawan ini, “ ujar bagian personalia dengan tenang.

Aku tersedak kaget dan bingung. Artinya, mereka mengundang kami jadi karyawan PT. CPI dan mereka mengakui keberadaan dua anak ATNAS ini.

“Apakah kalian bersedia?” ujarnya sambil senyum.

“Siap pak, kami bersedia,” jawab Edi tegas.

Kami kemudian mengikuti tes tersebut. Ada dua ruangan yang dijadikan tempat tes, aku dan Edi berada di ruang yang terpisah dalam mengikuti tes. Tes yang diajukan cukup membuat otak bekerja keras, di antaranya soal tentang speed, mechanical, attitude, gambar image/ ruang dan IQ test.

Setelah berkutat hampir dua jam mengikuti tes, kami keluar ruangan dan hasil tes diumumkan keesokan harinya. Usai mengikuti tes, Edi pulang ke rumah orangtuanya dan aku tetap di portacamp menikmati fasilitas PT. CPI di hari terakhir. Yah, hitung-hitung sebagai pergantian gizi.

Keesokan harinya, Setelah sarapan pagi aku sandang kembali ransel biruku dan melangkah menuju kantor personalia. Tak lama kemudian Edi datang bersama bapaknya yang saat itu mengenakan pakaian dinas kepolisian lengkap. Para peserta tes karyawan juga sudah ramai untuk melihat hasil tes.

Penantian berakhir. Alhamdullilah, nama kami berdua tertera sebagai peserta yang dinyatakan lulus. Edi menyalamiku dan wajah bapaknya berbinar bangga. Tak lama kemudian kami dipanggil kedalam ruangan personalia. Setelah berbasa-basi, kami ditanya oleh pihak personalia, apakah akan tetap tinggal dan bekerja di PT. CPI atau kembali ke kampus.

“Kembali ke kampus, Pak,“ jawabku cepat.

Edi tersentak kaget dan menatapku seolah tak percaya. Dia berdiri dan keluar menemui bapaknya yang menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Personalia kemudian memberikan dua amplop ukuran besar dengan nama kami masing-masinh. Setelah dibuka, aku melihat isinya berupa tiket pesawat, uang saku selama training tiga bulan dan surat tanda selesai kerja praktek di PT. CPI, serta dua bundel laporan  kerja praktek. Aku tandatangani surat tanda terima sekalian dengan punya Edi dan keluar dari ruangan personalia membawa dua amplop tadi.

Di luar, aku disongsong oleh bapaknya Edi. “Izub, kalian kuliah kan untuk bekerja dan sekarang kesempatan terbuka, kenapa ditolak?,” ujarnya dengan bibir bergetar.

Aku meraih tangannya, mencium dan berkata, “Maafkan aku pak, Aku dan Edi ingin menyelesaikan kuliah, hanya 1 tahun lagi dan kami akan penuhi harapan Bapak,” ujarku lirih.

Aku tidak tahan melihat wajah Edi yang kecewa dengan tindakan yang aku lakukan. Aku serahkan amplop atas namanya dan berbisik , “Aku tunggu kamu di airport besok,“ sembari kembali menyandang carrier-ku berjalan meninggalkan mereka berdua.

Aku berjalan kaki keluar area PT. CPI menuju selatan. Pagar kawat telah diganti dengan besi pipa kokoh dan ada pos sekuriti. Setelah berdialog sebentar dengan sekuriti dan memperlihatkan surat izin keluar dari personalia, aku kemudian melewati jalan setapak yang sering kami lewati di masa kecil dulu, menorobos semak ilalang sampai ke jalan besar yang kala itu masih disiram minyak mentah sebagai ganti aspal.

Aku pulang ke rumah orangtuaku dengan berjalan kaki sejauh lima kilometer.  Sampai di Boom Baru sebuah jembatan apung yg dibangun PT. CPI, penghubung antara Kota Pekanbaru dengan Rumbai, di mana jembatan tersebut bisa dipisahkan melipat apabila ada kapal barang yang melintasi Sungai Siak, aku berdiri di tengah jembatan di tempat pejalan kaki, berayun di sana ketika ada mobil yang melintasi jembatan menyeberang baik dari arah Rumbai maupun arah Pekanbaru.

Aku tersenyum mengenang masa kecil dulu sering bermain di sini. Mampir sebentar ke Toko Buyung Bersaudara  untuk beli celana jeans putih merk Levis 505 USA dan sebuah kacamata B&L warna hitam. Wah, gagah sekali. Hasil kerja praktek selama tiga bulan, cukup bayar kontrakan rumah dan belanja bulanan di Yogya nanti. Aku kemudian naik angkot ke Pasar Kodim.  Rumahku hanya berjarak 300 meter dari sana.

Malam itu kuceritakan pada ibu kejadian tadi pagi. Ibuku berkata, semoga Bapak Nusbir mengerti dan paham tujuanku yang sebenarnya. Sebagai orangtua, ibu lebih mengerti dan merasakan perasaan orangtuanya. Edi adalah anak tertua. Adiknya lima orang dan orangtua Edi sepertinya ingin secepatnya berbagi beban kepada Edi.

“Mudah-mudahan beliau sabar menunggu hanya satu tahun lagi,” ujar ibuku saat itu.

“Terima kasih Bu, atas dukungan nya,” jawabku lirih.

Keesokan harinya, pukul 09.00 WIB aku sudah di airport dan langsung check  in kemudian masuk ruang tunggu. Sengaja aku duduk menghadap keluar arah keberangkatan sehingga bisa melihat orang yang masuk ruang check in. Aku melihat Edi berjalan setengah berlari menuju ruang check in dan tak berapa lama kemudian masuk ruang tunggu dan langsung kusambut.

“Selamat datang sahabatku,” sapaku kepadanya.

Menggapai Asa

Kembali ke Yogyakarta, kami menjalani kehidupan rutin sebagai mahasiswa ATNAS. Kesibukan kami bertambah dengan membuat skripsi. Aku mendapat tugas karya ilmiah dengan judul “Diesel Engine dengan Bahan Bakar Crude Oil“  dengan dosen pembimbing Ir. Tjahyono Adi.  Sanggar kembali ramai seperti biasanya. Kegiatan petualangan, naik gunung, kemping tetap berjalan, termasuk latihan sepak bola.

Setelah bab terakhir skripsi dikonsultasikan dengan dosen pembimbing  dan disetujui, maka aku dan Edi mendaftar untuk ujian pendadaran. Dengan harus menyelesaikan semua mata kuliah tingkat dari tingkat satu sampai tiga hingga yudisium. Namun ada satu mata kuliah (Mechanical Pump/ ilmu pompa) yang belum bisa kuselesaikan.

Targetku untuk mendapat nilai “U” (pas-pasan ) saja sudah cukup untuk melangkah ke jenjang pendadaran atau ujian Negara sekalipun. Edi telah mendapat lampu hijau untuk ujian susulan tiga mata kuliah yang tertinggal. Tanggal ujian juga sudah ditetapkan.

Pagi itu aku datang ke kampus dengan agenda rapat redaksi koran Suara Mahasiswa di sekretariat LPM. Setelah rapat selesai dan teman-teman istirahat di kantin, aku dan Hadirin masih di ruangan sekretariat. Kesempatan bagiku untuk berbagi persoalan dengan beliau dan aku menceritakan masalah satu mata kuliah yang belum selesai. Hadirin hanya senyum mendengar keluhanku.

“Baru kali ini aku dengar kamu minta tolong,” ujar Hadirin sambil tertawa.

“Aku kan baru bercerita,” tukas ku, “Hahaha…Joki kena batunya,”kataku melanjutkan.

Aku memilih Hadirin karena dia memang jago lobi. Sikapnya tenang, dingin dan sabar menghadapi lawan bicaranya, serta pandai mencari celah kelemahan lawan debatnya.

”Aku yakin Bapak bisa menyelesaikan masalahku ini,” kataku bernada menantang ke Hadirin.

“Ba’da Ashar (jam 16.00) kita pergi ke rumahnya (dosen),” jawab Hadirin.

“Terima kasih kawan, aku tunggu di kampus,“ ucapku sambil menjabat tangannya.

Sore itu aku dan Hadirin berjalan kaki dari kampus ke Kotabaru. Tak begitu jauh, Hadirin berhenti pada sebuah rumah dengan taman yang asri. Hadirin mendorong pintu pagar yang membatasi dengan jalan raya. Kami berdiri di depan pintu menekan bel. Tak lama kemudian muncul seraut wajah yang kami kenal sebagai dosen ilmu mechanical pump.

“Oh, kalian. Silakan masuk,” ujarnya tenang.

Kami masuk dan duduk di ruang tamu yang bersih dan dilapisi karpet tebal. Hadirin membuka percakapan dengan memuji tamannya yang asri sebagai pembuka obrolan basa basi. Tak lama kemudian pembatunya datang membawa minuman untuk kami bertiga. Teh wangi yang nikmat, gumamku dalam hati.

“Silakan diminum, dik,” ujar sang Dosen. Aku mulai resah karena Hadirin asyik ngobrol dan aku hanya manggut-manggut. Kakiku kemudian kugeser mendorong kaki Hadirin supaya masuk pada soal inti.

Hadirin melirikku sambil menggaruk pipinya yang aku yakin tidak gatal. Setelah beberapa saat kemudian Hadirin baru mulai masuk pada kesulitanku yang hanya tinggal satu mata kuliah lagi, sebagai syarat agar bisa mengikuti ujian pendadaran skripsi. Aku berharap mendapat kesempatan untuk bisa ikut ujian sekali lagi dengan tatapan penuh harap.

Sang dosen kemudian berdiri dan pergi keruang tengah. Aku dan Hadirin saling berpandangan penuh harap. Akhirnya beliau keluar mendekati kami.

“Baiklah, dua hari lagi ikut ujian susulan pukul 10.00 wib di kampus,” ujarnya tenang.

“Ya Allah, terima kasih,” ucap syukurku dalam hati.

Aku jabat tangannya dengan erat seolah-olah tak mau kulepaskan. “Terima kasih, terima kasih pak, aku akan berusaha sebaik- baiknya,” ujarku haru. Tak berapa lama kemudian kami pun berpamitan.

Kok tadi lama sekali jabat tangannya,” tanya Hadirin saat kami dalam perjalanan pulang.

Wah, tadi ingin ku cium tangannya, tapi aku malu ada bapak (Hadirin),” jawabku sambil berseloroh.

Buset, bagaikan telor di ujung tanduk, masih mau bikin ulah lagi,”ujar Hadirin sembari sekedar memicu adrenalinku agar lebih semangat ujian nanti.

Terima kasih Mas Hadirin Azhar, pertolongan yang tak pernah kulupakan sampai kapanpun.

Dua hari kemudian aku mengikuti ujian pompa. Dah hasilnya seperti prediksiku, aku mendapat nilai U. Alhamdulillah, ujian pendadaran kami lewati dengan mudah. Sarjana muda ATNAS sudah di tangan. Hanya selangkah lagi menunggu ujian negara.

Hari berikutnya kami mendaftar ujian negara yang pertama diadakan ATNAS pada tahun 1980 dan  hanya diikuti lima orang mahasiswa Teknik Mesin, termasuk kami berdua. Kala itu ujian negara diadakan di kampus Teknik Mesin UGM. Ujian teori beberapa mata kuliah yang diujikan kami berhasil lulus.

Akan tetapi pada ujian skripsi kami belum berhasil, aku masih ingat bagaimana groginya aku ketika berdiri di depan lima orang tim penguji dari UGM termasuk dosen favoritku yang mengajar Mechanical Pump.

Aku minta maaf untuk melonggarkan dasi yang kukenakan karena merasa tercekik dan gugup. Semuanya tertawa dan dia hanya tersenyum mengejekku. Sesungguhnya suasana yang tegang itu sudah bisa kukendalikan. Tapi otak ini tidak juga bisa diajak damai, mumet dan buntu, sehingga jawaban yang kuberikan tak bisa meyakinkan tim penguji. Hasilnya gagal total.

Aku keluar ruang sidang itu bagai pesakitan yang divonis bersalah. Tertunduk dan lesu. Maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku Gagal.

Edi menunggu di luar. Kulihat dia berkali-kali mengelap mukanya dengan sapu tangan. Dia diuji di ruangan sebelah untuk mempertahankan skripsinya. Kulihat matanya memerah. Yah, aku mengerti. Hasil yang sama gumamku dalam hati.

“Ayo, kita pulang,” ajakku

“Ntar dulu, kita tunggu pengumuman tim penguji,“ jawabnya penuh harap.

Aku membuka dasi dan menggulung  lengan kemeja panjang yang kukenakan sampai batas siku, mengajak Edi duduk di pojok samping electrical shop. Kami melamun dengan pikiran masing-masing. Beberapa batang rokok menemani kami dengan setia. Penantian kami pun berakhir dengan ditempelkan pengumuman hasil ujian skripsi.  

Seperti yang kami duga sebelumnya, aku dan Edi dinyatakan tidak lulus. Kami berjalan kaki keluar area kampus UGM dan pulang ke sanggar dengan pikiran melompong. Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir di kantin. Teman-teman yang ada disitu saat itu mengerubuti kami dan bertanya terkait hasil ujian kami.

Yah, apa boleh buat, kami gagal kali ini. Lain waktu kita ulangi lagi. Malam hari nya kami mengadakan diskusi di sanggar terkait ujian kami. Kami membahas di mana kesalahan kami saat ujian, sebagai masukan bagi teman-teman yang lain. Edi memulai diskusi dengan Winding Reda Pump.

“Aku ditanyai tentang arah gulungan (winding ) Reda Pump, aku tak bisa jawab, dari sana berkembang pertanyaan-pertanyaan lainnya,” kata Edi.

“Mungkin beliau itu lupa bahwa kamu Teknik Mesin,” kataku membela Edi saat diskusi.

“Yah, paling tidak kita mesti tahu prinsip dasarnya. Reda Pump itukan arah Winding-nya di sebelah kiri. Itu merupakan ciri-ciri khas Reda,” jawabku.

“Ya, itu dia, aku lupa,” sahut Edi cepat.

“Kamu luluh lantaknya dimana?,” tanya Ujang sambil memandang serius kepadaku. Aku menjawab dengan senyum kecut.

“Aku hancur di exhaust gas (gas buang). Mereka menanyakan kenapa exhaust pipe untuk vehicle truck yang besar mengarah keatas dan berapa emisi gas buang standart yang diizinkan, bagaimana chart emission tersebut,” jawabku.

“Aku mencoba mengalihkan pertanyaan tersebut dengan menceritakan pembakaran yang sempurna dalam ruang bakar suatu engine dapat dilihat dari warna asap gas buang (gray, white, black smoke). Tapi di cut off langsung oleh penguji yang lain,”kataku melanjutkan.

“Yang kami tanyakan bukan yang itu, masuk lagi ke pertanyaan pertama,” ujarku sembari menirukan apa yang diucapkan penguji. Aku gelagapan dan bungkam. Penguji kemudian menanyakan pertanyaan yang lebih hebat lagi.

“Menurut anda dengan kemajuan teknik masa depan, bisakah crude oil sebagai bahan bakar alternatif pada vehicle truck?,“ tanya penguji.

“Bisa, apabila pada tangki bahan bakar vehicle tersebut dipasangkan heater untuk mencairkan crude tersebut,“ jawabku ragu.

Mereka tertawa semua. Aku baru sadar yang ditanyakan vehicle truck, bukan statis engine seperti Generator Set, Engine penggerak pompa dan lainnya. Wah celaka, aku tidak diberi kesempatan untuk meralat jawabanku. Hancurlah sudah, aku grogi, aku kalah. Ya sudah. Segala sesuatu berjalan menuju apa yang telah diciptakan baginya.

Menebus Rindu Terakhir

Pagi itu aku berniat untuk pergi ke kampus. Saat berdiri di depan pintu sanggar, ada lima orang anak muda datang menghampiri dan bertanya. “Bang, Izub ada?,” tanya mereka.

Aku merasa khawatir dan balik bertanya, “ada perlu apa ya dik? Izub lagi keluar, kemungkinan sore baru pulang,” jawabku. Mereka saling berpandangan dan terlihat kecewa,

“O, kami dari Cirebon, rencana mau masuk ATNAS,” kata mereka sambil memperkenalkan diri.

“Cari bang Izub buat apa?,” tanyaku heran.  “Pesan kakak, kalau mau masuk ATNAS cari bang Izub, nanti kalian bisa di bantu masuk ATNAS,“ jawab salah seorang dari mereka.

 “Wah, gawat. Ada apa nih?,” pikirku. Aku lihat wajah mereka masih polos dan lugu, terlalu jujur malah. Aku kemudian menyarankan pada mereka untuk mendaftar dulu ke kampus ATNAS, kemudian nomor tesnya di fotokopi dan antarkan lagi kepadaku.

“Biar nanti aku yang bantu berikan nomor tesnya sama bang Izub,”saranku pada mereka.

“Oh, iya bang, terima kasih sebelumnya,” jawab mereka.

Setelah mereka berlalu dari hadapanku, aku kemudian duduk bersandar di kursi. Terhenyak sembari merogoh kocek mengambil sebatang  rokok Dji Sam Soe. Kepulan asap rokok melayang di udara seperti fikiranku, melayang jauh. Cirebon, aku memang pernah kesana hanya sekedar menjadi joki untuk adik teman yang kuliah di salah satu universitas swasta. Kala itu ujian matematika dan aku sempat menginap di rumah Mas Teguh Budiono. Beliau punya adik, namanya Tris dan Mega yang saat itu masih SMP.

Tak berapa lama kemudian anak-anak itu kembali ke sanggar, menyerahkan nomor tes mereka. Setelah berbasa basi sejenak mereka pamit. Aku mesti berbuat sesuatu, ujarku dalam hati. Aku kemudian beranjak dari sanggar menuju kampus dan masuk ke ruang Senat Mahasiswa (Sema). Di sana masih ramai teman-teman aktivis, ada Hadirin, Sudirman, Tommy, Aqib, dan lainnya.  Aku kemudian menuju meja pendaftaran bimbingan tes calon mahasiswa.

“Aku daftar jadi mentor bimbingan test,” kataku.

“Mesti menyerahkan konsep dan visinya, Bang,” jawab panitia tersebut. Aku melirik Hadirin dan Sudirman yang acuh pura-pura baca koran

“Konsep dan visiku ada  di sini, belah dan lihat isinya,” kataku sambil menunjuk ke arah kepala dengan nada kesal.

Semua yang ada di ruangan itu tertawa riuh. Akhirnya persyaratan itu dihapus dan aku ditunjuk menjadi mentor Fisika dan Matematika bagi calon Mahasiswa Baru ATNAS tahun 1980. Aku diberi diktat soal-soal fisika dan matematika tahun sebelumnya (1979).

Aku membimbing dan membahas soal-soal bersama adik-adik calon mahasiswa baru tersebut pada malam hari di kampus, setelah kuliah usai. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar dan pada pengumuman mahasiswa yang diterima di ATNAS, lima anak Cirebon yang datang ke sanggar juga lulus.

Saat yang dinanti tiba. Masa wisuda yang yang dinantikan setelah melalui perjuangan berat akhirnya terlaksana. Setelah acara wisuda sarjana, pada akhir Desember 1980 aku dan Edi berniat kembali ke Riau. Sore itu kami berdua sudah berada di stasiun Tugu.

Teman-teman melepas kami dengan perasaan haru. Aku peluk mereka satu persatu. Hadirin,  Sudirman P, Cliff, Marlius, Pipin, Andi, Ujang Suryadi, Asril Ungut, Teguh, Yandra, Hiera, Koad, Dedek, Yati, Tommy dan lainnya. Di antara mereka ada seorang gadis yang masih mengenakan pakaian sekolah putih abu-abu berlari memelukku erat. Desy, anak pemilik kantin memelukku erat, persis ketika ibunda Desy meninggal beberapa waktu lalu.

Edi mencubit lenganku memberi isyarat, aku melepaskan pelukan Desy dan kukecup keningnya.

“Selamat tinggal, bakal ada yang membimbingmu, yakinlah,”bisikku ke telinga Desi. Aku berlari mengejar kereta yang berjalan pelan, Edi menarik tanganku.

Selamat tinggal Yogya, selamat tinggal sahabat terbaik, banyak kenangan tak terlupakan…!!!

Tahun 1981, Edi diterima di PT. CPI, Asril Ungut menyusul tiga bulan berikutnya di PT. CPI. Sedangkan aku memilih jalan berbeda. Aku memilih PT. Trakindo Utama sebagai jalan untuk mencapai obsesi masa remaja, sebuah perusahaan dealer heavy equipmentterkemuka di Indonesia. Ujang (Suryadi.AR) bergabung dengan PU – sub Pengairan di Pekanbaru pada tahun 1982. Kami tenggelam dalam kesibukan kerja masing-masing sehingga jarang berhubungan. Saat itu belum ada handphone dan lainnya.

Pada tahun 2002 aku dikirim ke Freefort Tembagapura,  sebuah negeri atas awan. Cita-citaku pun tercapai, aku akhirnya bisa berdiri di Puncak Jayawijaya, Papua. Alhamdulillah, Allah memudahkan jalanku untuk mencapai impian masa remajaku.

Tahun 2004 kembali ke Riau dan setahun setelahnya (2005) aku mendapat kabar duka ketika membaca koran pagi. Suryadi AR meninggal dunia. Besoknya kami datang berkumpul di rumah duka dan hanya menjumpai segunduk tanah merah sebagai kuburnya. Selamat jalan, sahabat ku.

Pada tahun 2014 Asril Ungut mengontakku memberitahukan bahwa Edi telah berpulang. Aku terpaku, kaget, lidahku kelu, dan aku hanya diam sampai Asril mematikan HP-nya. Setelah beberapa saat kemudian aku menelpon kembali Asril dan menyampaikan pesan belasungkawa kepada pihak keluarga, karena aku tidak bisa datang.

“Sampaikan salam duka aku dan keluarga, aku nggak bisa datang, sungguh aku aku nggak bisa,” ucapku lirih.  Aku menangis dan sholat ghaib buat Edi. Aku bacakan Yasin buat arwahnya.

Selamat Jalan Sahabat, Selamat Jalan.

Banyak kenangan kita bersama, semoga arwah kalian diberi tempat yang layak di sisi Allah sesuai dengan amal ibadah kalian.

Segala sesuatu berjalan menuju apa yang telah diciptakan baginya dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku- buku catatan.

-Selesai-

Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang dua sahabat yang telah berpulang :

  • Nama       : Ediyal Nusbir
  • Lahir        : Pekanbaru, February 1957
  • Angkatan.  : 1976 / Teknik Mesin
  • Ex Team Leader PT.CPI / Chevron
  • Resimen Mahasiswa ATNAS angk: I , juara menembak (prestasi)
  • Anggota Mapala ATNAS
  • Anggota HMI ATNAS
  • Nama.          : Suryadi .AR  ( Ujang ).
  • Lahir.           : Langsa (Aceh), 1955
  • Angkatan.    : 1976 / Teknik Mesin
  • Koordinator Pengairan PU – Pekanbaru
  • Pesepak bola handal ATNAS
  • Anggota Mapala ATNAS
  • Anggota BPM ATNAS
  • Anggota HMI ATNAS

(Editor : Yohanes K. Irawan)