Skip to content

Menjadi Pencinta Alam di Belantara Kota

Bank sampah “Sakura’ yang didirikan dan dikelola oleh warga Perumahan Bukit Nusa Indah, Tangerang Selatan, Banten. Foto : Mufti Subarkah

Pencinta alam (baca : Mapala) adalah sekelompok manusia yang selama ini dekat dengan lingkungan. Predikat sebagai pencinta alam menjadikan mereka figur-figur yang dikenal oleh masyarakat sebagai kelompok yang memiliki kepedulian tinggi pada lingkungan. Peduli pada masa depan bumi sebagai tempat hidup manusia. Kepedulian ini sering tercermin dari kegiatan-kegiatan bakti lingkungan yang sering kita dengar selama ini, seperti bersih gunung, bersih pantai, bersih sungai, penghijauan dan lain sebagainya. Di Yogyakarta misalnya, GAPADRI Mapala ITNY beberapa kali melakukan kegiatan bakti lingkungan kegiatan bersih Selokan Mataram yang mengalir tak jauh dari kampus tempat anggota GAPADRI belajar. 

Namun tak jarang kepedulian seorang pencinta alam tak terlihat ketika mereka kembali ke peradaban dan hidup di lingkungan perkotaan. Kebiasaan di alam ini hilang begitu saja tanpa bekas. Salah satunya adalah terkait hal yang sangat sederhana, perlakuan terhadap sampah rumah tangga. Hal ini terungkap dari diskusi daring yang dilakukan GAPADRI saat merayakan ulang tahun ke-44 beberapa waktu lalu. Yuma, salah seorang generasi muda GAPADRI menyatakan kegundahannya. Ia menilai terdapat jurang besar perbedaan perilaku pegiat alam bebas di alam dan di lingkungan perkotaan yang ia amati selama ini.

Kegundahan Yuma itu menggelitik saya untuk sedikit berbagi tentang kebiasaan saya bersama keluarga yang sudah kami lakukan beberapa tahun terakhir ini, tentang bagaimana saya dan keluarga mengontrol sampah rumah tangga. Dulu, jauh sebelum muncul peraturan plastik berbayar di Mall atau minimarket, saya dan keluarga selalu pergi belanja dengan membawa tas sendiri.  Saya bahkan tidak ragu membawa beberapa tacklebag jika belanja dalam partai besar. Hal seperti ini sering menjadi pemandangan aneh bagi pengunjung atau costumer lain saat mengantri di kasir. Seolah-olah sangat ribet, merepotkan dan tidak praktis. 

Saya selalu membayangkan jika kita belanja satu troli besar saja di mal, maka akan ada puluhan plastik yang kita bawa pulang untuk mengangkut hasil belanjaan kita. Kemudian pertanyaannya apakah plastik itu akan kita kumpulkan di rumah atau kita buang ke tempat sampah? Jika semua keluarga atau orang-orang berbelanja dengan cara seperti itu, berapa banyak timbunan plastik yang dihasilkan? Inilah dasar pertimbangan kenapa kami biasa membawa kantong sendiri saat belanja.

Kebiasaan selanjutnya adalah bepergian dengan membawa botol minum atau tempat makan sendiri (tumblr). Saat lapar tidak perlu membeli makanan minuman kemasan yang berpotensi menghasilkan sampah baru. Jika terpaksa membeli makanan, kami usahakan makan di tempat atau dibungkus dengan tempat makan (tumblr) yang kita bawa. Selain itu, kami juga selektif dalam memilih makanan atau jajanan. Kemasan makanan atau jajanan tradicional umumnya lebih ramah lingkungan. Dalam hal membeli permen pun saya lebih suka membeli permen tanpa kemasan satuan (seperti Xylitol) daripada permen yang dikemas satuan seperti Kopiko, Relaxa dan masih banyak lainnya. 

Tas belanja dari bahan bekas gelas tempat minuman. Foto : Mufti Subarkah
Kaleng aluminium bekas minuman yang akan diolah menjadi kompor lapangan. Foto : Mufti Subarkah

Kami selalu memisahkan sampah organik dan anorganik di dalam rumah. Karena sampah organik lebih cepat busuk dan berbau, jika dicampur dengan sampah anorganik, maka membuat baunya akan menyebar ke sampah anorganik. Selain itu proses pembusukan atau penguraian sampah organik menjadi tidak optimal. Kami juga memilah sampah anorganik yang memiliki nilai jual. Sampah jenis ini akan bermanfaat jika diberikan ke penadah atau pengepul sampah. Saya dan beberapa warga di lingkungan saya tinggal membangun komunitas bank sampah untuk mengakomodir sampah-sampah yang bisa didaur ulang atau memiliki nilai jual. Akhir-akhir ini saya merasa semakin banyak orang yang melakukan hal yang sama, dampak positifnya sampah bisa lebih terkontrol setidaknya dimulai dari rumah masing-masing.

Ada banyak hal yang dapat dihasilkan dari sampah yang sering kita anggap tidak berguna. Produk-produk yang dihasilkan bahkan lebih ramah lingkungan dan punya keunggulan khusus dibanding produk-produk industri. Saya telah mencoba mengolah beberapa sampah diantaranya kaleng bekas minuman, minuman gelas plastik ataupun kardus. Tujuan utamanya adalah produk-produk olahan tersebut selain mereduksi limbah juga tentunya bermanfaat. Sebagai salah satu bentuk kampanye pemberdayaan sampah. Kaleng bekas minuman bisa diolah salah satunya menjadi kompor lapangan. Gelas plastik menjadi tas atau piring dan kardus menjadi pigura. Selain itu, jika ditekuni produk-produk olahan ini bisa memiliki nilai jual yang menguntungkan.

Mari cintai bumi kita dengan memperlakukan sampah dengan cara yang lebih bijak dan sesuai hati nurani kita sebagai pencinta alam di manapun kita berada, bukan hanya saat di gunung saja. 

Salam lestari..!