Skip to content

Mapala ATNAS di Era 1985-1989

Diklatsar IV Mapala ATNAS di Gunung Tugel, Kulonprogo, DIY, 1986. Foto : Arsip Sri Utari

Merawat ingatan bukanlah perkara mudah, apalagi untuk menjangkau kembali detil peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam. Tak terkecuali bagi saya. Merangkai kisah selepas DIKLATSAR IV Mapala Akademi Teknologi Nasional (ATNAS) Yogyakarta di Gunung Tugel, Kulonprogo, 35 tahun yang lalu, membuat saya harus telepon kesana kemari, membangunkan ingatan rekan-rekan seangkatan bahkan senior-senior di Mapala.

Setelah pelantikan anggota Mapala ATNAS di Puncak Merbabu pada 9 Desember 1985, kami terpaksa harus melakukan pemilihan Ketua MAPALA ATNAS lagi. Mas Suluh Kumoro (TG/82) yang menjabat ketua periode 1984-1986 sudah lulus kuliah D3 dan melanjutkan studi S1-nya di Universitas Pakuan Bogor. Mas Simon Paulus (TG/83) terpilih menjadi ketua sementara untuk menyelesaikan sisa periode kepengurusan Mas Suluh Kumoro. Pada musyawarah anggota berikutnya terpilihlah WM Hadi (TG/83) sebagai ketua kepengurusan Mapala ATNAS periode 1986-1988.

Ketidakjelasan perubahan institusi dari ATNAS menjadi STTNAS (Sekolah Tinggi Teknologi Nasional) berdampak pada jalannya roda organisasi kemahasiswaan termasuk Mapala ATNAS. Banyak pengurus Mapala ATNAS yang dihadapkan pada pilihan sulit, tetap melanjutkan studi di ATNAS atau terpaksa “bermigrasi” ke perguruan tinggi lain. Sebagian besar anggota Mapala ATNAS waktu itu berasal dari Jurusan Teknik Geologi yang hanya memiliki jenjang pendidikan hingga Diploma-3 (D3). Hal ini mendorong cukup banyak anggota Mapala ATNAS yang pindah ke kampus lain demi melanjutkan studi ke jenjang S1, salah satunya ke Jurusan Geologi Univ. Pakuan Bogor. 

Saya (berkacamata duduk di depan) berpose bersama Ketua STTNAS dan beberapa kolega mahasiswa saat peresmian perubahan status ATNAS menjadi STTNAS, Desember 1986. Foto : Arsip ITNY

Tidak adanya serah terima jabatan yang jelas mengakibatkan, Mapala ATNAS saat itu mengalami masa kevakuman alias “tidur panjang”. 

Kami sebagai anggota baru tidak ingin berhenti begitu saja. Kami tidak ingin  jiwa bebas kami terkungkung dengan “tidur panjang”-nya organisasi. Kami tetap berkegiatan baik secara individu maupun secara berkelompok. Kami juga bergabung dengan organisasi lain dalam melakukan kegiatan alam bebas seperti mendaki gunung, melakukan pelatihan panjat tebing, camping dan kegiatan lain-lain.

Pelantikan anggota Mapala ATNAS di Gunung Merbabu, Desember 1985. Foto-foto : Arsip Sri Utari

Kegiatan Alam Bebas

Pada masa-masa itu, saya dan beberapa rekan seangkatan seperti Trijoni alias Menyek, Eko dan Kasta banyak berkegiatan bersama organisasi Skyline Indonesia, kami melakukan beberapa ekspedisi ke luar Jawa. Berkegiatan di Skyline Indonesia ternyata  terasa belum cukup, terutama bagi Kasta, selain di Skyline Indonesia Ia juga aktif berkegiatan bersama rekan-rekan Pecinta Alam Yogya, di antaranya dengan Mapala Unisi, Madawirna dan SEKBER (Sekretariat Bersama) Perhimpunan Pecinta Alam DI Yogyakarta.

Beberapa dosen STTNAS waktu itu sempat menegur kami karena sering pergi berpetulang namun tidak membawa nama Mapala STTNAS. Kami waktu itu tidak begitu peduli, karena organisasi saat itu memang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, antara ada dan tiada. Sehingga berkegiatan secara mandiri menjadi pilihan yang paling masuk akal bagi kami.

Sekitar tahun 1988, kami akhirnya menyadari bahwa organisasi Mapala yang telah lama mati suri perlu dibangkitkan lagi. Kami mengawalinya dengan mengadakan pertemuan di kost saya di Babarsari TB 18/17. Pertemuan berikutnya kami lakukan di kost Menyek di Tambakbayan TB11/11. Beberapa anggota yang terlibat dalam pertemuan itu adalah :  saya, Hasniel, Menyek, Kasta, Ferdinan, Tanto, Samsul Alam, Aris Apriandi dan Firman Arapenta Bangun.

Setelah beberapa kali pertemuan di kos dan kontrakan Menyek, sebagai langkah awal membangun Mapala kembali adalah mengumpulkan dokumen dan peralatan yang dimiliki MAPALA STTNAS dari pengurus terakhir yang tersisa, Mas Bambang Darmo dan Bang Datuk Nabolon (mereka saat itu juga sudah lulus atau mendekati kelulusan). Kami mulai melakukan pembenahan manajemen dan administrasi MAPALA STTNAS.

Untuk menambah peralatan guna menunjang kegiatan di Mapala, Menyek dan Nanto yang merupakan anggota Skyline Indonesia mengambil sejumlah peralatan mounteneering milik mereka di Jakarta, seperti : tali kernmantel, carabiner, chock/nuts, piton dan bong. Alat-alat itu kami gunakan untuk latihan ketrampilan tali temali di jembatan Babarsari. 

Kami selanjutnya berburu ruang di kampus untuk dijadikan sekretariat Mapala. Perburuan ini membuahkan hasil, kami memperoleh sebuah ruangan bekas perpustakaan di belakang ruang kuliah di Kampus STTNAS yang saat itu masih berpusat di Kampus Kridosono. Mapala STTNAS resmi hidup kembali tatkala Hasniel Hasjim alias “Pak Tua” kemudian terpilih menjadi ketua Mapala STTNAS periode 1989-1990.

Mengingat selama hampir empat tahun Mapala tidak pernah melakukan perekrutan anggota untuk regenerasi, kami mengadakan DIKLATSAR V tahun 1989 untuk menjaring anggota baru. 

Setelah DIKLATSAR V, Mapala ATNAS melakukan musyawarah anggota dan memilih ketua baru. Iskandar alias Datuk terpilih untuk menjabat ketua Mapala STTNAS periode 1990-1992. Pada masa Datuk inilah, sekretariat Mapala STTNAS dipercantik, sehingga anggota Mapala betah di sekretariat. Tak hanya anggota, para dosen muda STTNAS pun jadi sering mampir untuk sekedar nongkrong dan berbincang. 

(Editor : Abe)