BY CHE_351 · MAY 14, 2020
Bulan Ramadhan selalu menjadi bulan kenangan bagi saya, karena di bulan Ramadhan inilah salah satu titik balik hidup saya terjadi, tepatnya 19 tahun lalu, di bulan November tahun 2001.
Saya dan 18 orang rekan seangkatan baru menyelesaikan DIKLATSAR XVI GAPADRI Mapala STTNAs Yogyakarta. Lelah fisik dan mental masih terasa setelah menjalani periode yang berat dan sulit ditebak. Selepas diklat, status kami waktu itu hanya Calon Anggota Muda (CAM). Impian untuk segera mendapatkan status Anggota Muda (AM) membuat kami terpacu. Mengenakan emblem GAPADRI membuat kami bangga dan bersemangat untuk segera menjalani tahapan berikutnya, pendidikan pasca diklat. Kami mengabaikan rasa khawatir bahwa jenjang pendidikan pasca diklat juga mengedepankan penekanan fisik dan mental seperti DIKLATSAR.
Tanpa rehat, kami langsung digiring masuk Masa Pembinaan dan Pengembaraan. Dewan Pengurus saat itu memberi kami waktu tiga bulan untuk menyelesaikan pendidikan empat divisi serta wajib gunung. Setelah itu kami harus memberikan presentasi sebelum dilantik menjadi Anggota Muda GAPADRI.
Pendidikan divisi caving (susur goa) menjadi pendidikan paska diklat urutan pertama yang harus kami tempuh. Setelah beberapa kali latihan rutin di kampus dan di jembatan Babarsari, instruktur menyatakan bahwa kami telah siap untuk melakukan eksplorasi goa sesungguhnya. Bagi kami ini adalah tantangan baru, karena saat itu belum ada satupun di antara kami yang pernah melakukan penelusuran goa vertikal.
Saat itu musim penghujan, Goa Cokro dan Goa Telogo di Desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul menjadi pilihan yang aman untuk berkegiatan caving. Saya masih ingat dengan jelas, kami mulai diajarkan mandiri saat itu. Peserta pendidikan berjumlah 15 orang ditambah beberapa orang instruktur, cukup ramai. Sementara GAPADRI saat itu hanya memiliki 1 set SRT (Single Rope Technique). Kami, para calon anggota muda berkewajiban mencari sendiri pinjaman peralatan dari Organisasi Pencinta Alam lain, dengan di back up pengurus tentunya.
Tanggal 16 November 2001, siang hari sebelum berangkat ke lokasi kami melakukan persiapan akhir, packing peralatan dan logistik di sekretariat kemudian dilanjutkan breafing dan doa bersama sejenak. Mentor kami, Mas A.B. Rodhial Falah alias Mas Uthenk saat itu mengatakan bahwa “kegiatan akan berjalan santai, tapi tetap harus serius“. Mas Uthenk saat itu menjabat Ketua I GAPADRI yang membawahi bidang operasional. Ia lalu menunjuk salah satu dari kami menjadi time keeper kegiatan. Time keeperbertugas mengontrol waktu demi waktu kegiatan agar berjalan lancar sesuai yang telah kami rencanakan.
Dari kampus Babarsari kami langsung berangkat menuju lokasi Luweng Cokro di Gunungkidul dengan menggunakan armada kampus, bis berwarna biru milik STTNas yang dikemudikan Pak Poniran. Konon dari cerita para senior, Pak Poniran ini driver idolanya GAPADRI. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk membuktikannya, Pak Poniran selain handal di jalanan juga suka bercanda. Selain bus, beberapa peserta kegiatan yang lain berangkat mengunakan sepeda motor. Ini adalah kegiatan lapangan pertama kami setelah Diklatsar. Perasaan nervous dan senang campur aduk menjadi satu. Entah kenapa ingatan saya waktu itu melayang pada kejadian seminggu sebelumnya ketika kami direndam di Goa Cerme malam-malam.
Hari sudah gelap ketika kami memasuki Dusun Blimbing dan tiba di rumah Pak Sabar, Kepala Dusun yang rumahnya akan menjadi basecamp kegiatan kami selama tiga hari kedepan. Setelah membereskan peralatan dan makan malam, kami beramah tamah dengan pemilik rumah (Pak Sabar dan keluarga). Malam itu Mas Uthenk memberikan penyegaran materi caving, kemudian Mas Dimas alias Mas Gaplek yang menjabat kepala divisi caving memberi breafing kegiatan sebelum kami beranjak tidur. Malam itu hujan cukup lebat, sepertinya memang puncak musim penghujan saat itu.
Pagi hari tanggal 17 November kami mulai kegiatan. Sesuai hasil breafing tadi malam kami dibagi menjadi dua tim. Tim pertama yang terdiri dari seluruh peserta didampingi Mas Uthenk melakukan penelusuran dan simulasi pemetaan di Goa Telogo. Goa Telogo merupakan goa horisontal yang terletak di ujung jalan yang sama dengan Goa Cokro. Selain pemetaan goa, instruktur mengenalkan kembali ornamen goa dan juga fotografi. Tim kedua adalah para instruktur yang dipimpin Mas Gaplek, mereka bertugas membuat lintasan tali untuk penelusuran goa vertikal di Goa Cokro.
Pagi itu hujan kembali turun, menyebabkan jalan makadam yang kami lalui dan area sekitar mulut gua menjadi licin. Selesai berkegiatan di Goa Telogo kami langsung menuju ke Goa Cokro. Lintasan tali telah siap dan kami mulai turun satu persatu. Mas Gaplek rupanya telah turun duluan dan menunggu kami di dasar goa. Pengalaman pertama menuruni gua vertikal dan kondisi batuan yang licin membuat beberapa orang dari kami menjadi gugup.
Sambil menunggu semua peserta sampai ke dasar goa, saya dan beberapa orang peserta yang lebih dulu sampai di dasar goa berinisiatif melakukan eksplorasi ke ujung ujung lorong. Pertama adalah lorong yang panjang di percabangan arah kanan kemudian ke lorong yang pendek ke arah sebaliknya. Sampai di ujung lorong kami melihat melihat-lihat ornamen sejenak dan kemudian kembali ke lokasi sekitar entrance tempat rekan-rekan yang turun belakangan berkumpul.
Waktu itu saya berjalan di urutan paling belakang, saat melintas di bawah entrance terlihat masih ada seseorang yang bergelantung di tali lintasan. Tiba-tiba saya merasakan ada benda keras menghantam kepala saya, sepersekian detik dinding dan atap goa serasa berputar cepat lalu semua berubah menjadi gelap.
Sayup-sayup saya mendengar suara memanggil nama saya. Sayup-sayup saya juga mendengar seseorang berteriak “rescue…rescue….!!!” Saya mencoba membuka mata. Saya mulai menyadari ternyata saya telah terbaring di tumpukan bebatuan di bawah entrance. Saya berusaha duduk dan mencoba memahami situasinya. Dari kejauhan rekan-rekan berteriak memanggil nama dan menanyakan keadaan saya. Sekilas, saya dalam keadaan mati rasa, seolah tidak terjadi apa apa, tidak ada rasa sakit, saya tidak merasakan apapun. Saya menjadi bingung karena rekan-rekan kemudian berkumpul mengelilingi saya. Saya melihat Mas Uthenk mendekat dan menyuruh rekan-rekan untuk memberi ruang dan berkumpul di titik aman.
Mas Uthenk menanyakan nama asli saya dan nama lapangan saya. Dia lalu menjelaskan kondisi saya saat itu. Sesaat kemudian saya baru paham ada luka di kepala saya. Saya merasakan darah segar mengalir membasahi wajah saya. Mas Uthenk meminta ijin untuk membuka helm dan melihat kondisi kepala saya. Saya hanya bisa mengangguk dan duduk lemas bersandar di dinding goa. Sesaat kemudian saya melihat di tangan Mas Uthenk helm yang tadinya saya kenakan telah hancur dan berlumuran darah. Mas Uthenk mengatakan kepala saya mengalami luka robek cukup parah. Dengan perlengkapan P3K seadanya Mas Uthenk menutup luka saya.
Mas Uthenk dan Mas Gaplek berdiskusi mengenai keadaan saya dan kemungkinan untuk tindakan vertical rescue. Beberapa kali Mas Uthenk menanyakan kondisi saya dan memastikan apakah saya masih bisa ascending atau tidak. Saya memastikan saya masih kuat untuk ascending. Mas Uthenk lalu menginstruksikan agar saya meniti tali naik bersama dia. Saat itu kami menggunakan dua lintasan tali yang satu sama lain berjarak lebih dari 2 meter. Saat ascending posisi saya dan Mas Uthenk saling terhubung tali cowstail, berjaga-jaga agar jika terjadi sesuatu dengan saya di lintasan, Mas Uthenk bisa dengan mudah menjangkau saya.
Sesampai di entrance, beberapa senior sudah menunggu dan membantu saya ke tempat aman di dekat mulut gua. Setelah melakukan pengecekan ulang kondisi luka saya, kemudian salah satu senior, Mas Budi alias Mas Letot mengantar saya ke Mantri Kesehatan di dusun Blimbing. Oleh Mantri Kesehatan luka di kepala saya hanya dibersihkan, diberi antiseptik dan diperban cukup tebal, sehingga terlihat menyeramkan, hahaha…
Setelah itu Mas Letot mengantar saya kembali ke basecamp untuk istirahat. Hari itu adalah hari pertama puasa bulan Ramadhan, dan saya mengawali puasa dengan kejadian seru dan konyol di goa. Saat istirahat itulah saya baru merasakan rasa sakit yang luar biasa di bagian kepala. Badan saya mulai terasa demam dan kepala seperti ditusuk ribuan pisau. Sakit sekali. Mungkin akibat hantaman batu dari atas dan benturan kepala di lantai goa saat terjatuh. Rasa sakit dan nyeri itu berlangsung hingga tengah malam saat seluruh tim kembali dari Luweng Cokro ke basecamp.
Kegiatan pendidikan caving selesai malam itu dan kami berencana pulang esok pagi. Sebelum pulang ke Jogja kami mampir dulu ke pantai Sundak untuk refreshing atas sedikit ketegangan yang terjadi di Luweng Cokro. Kami seharian bermain di pantai sekaligus berbuka puasa dengan bakar-bakar ayam. Kata Mas Uthenk waktu itu syukuran. Ya kami semua bersyukur karena menyadari hal yang lebih buruk bisa saja menimpa saya di goa.
Kejadian di Luweng Cokro begitu membekas bagi saya, baik secara fisik sebagai luka di kepala maupun psikis. Namun kejadian itu tidak menjadikan saya kapok. Saya bahkan tidak pernah mengira bahwa kejadian itu justru menjadi titik balik atau awal ketertarikan saya pada dunia speleologi atau kegiatan penelusuran goa. Saya menjadikan caving sebagai haluan besar dalam kiprah saya di dunia kepecintaalaman (Mapala) atau kegiatan alam bebas secara umum. Tidak hanya di internal GAPADRI saja, saya juga aktif di forum arisan caving di Yogyakarta hingga beberapa tahun selama saya tinggal di Jogja.
Kisah di atas merupakan pelajaran berharga bagi saya dan rekan-rekan untuk lebih mencermati potensi bahaya saat kegiatan di lapangan. Selalu cek dan ricek kondisi alat, dan memastikan perlengkapan yang digunakan memenuhi standar safety. Pada kejadian yang menimpa saya, luka robek di kepala saya terjadi karena helm yang saya kenakan pecah dan pecahannya helm itu merobek kulit kepala saya. Saya waktu kejadian menggunakan “helm gayung” yang kala itu sedang tren digunakan oleh mahasiswa di Jogja.
Saya ingat, periode itu banyak kecelakaan goa terjadi di Yogyakarta, beberapa kasus serupa dengan kejadian yang menimpa saya, yaitu akibat runtuhan/jatuhan batu yang menimpa kepala. Bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Saya berharap semoga kejadian semacam itu tidak pernah terulang lagi pada siapapun. Peningkatan kualitas dan kuantitas peralatan penunjang keselamatan kegiatan alam bebas sebaiknya juga terus diimbangi dengan wawasan tentang standar safety, sehingga kegiatan alam bebas tetap aman dan nyaman dilakukan.
Keep Safety….Salam Lestari…!!!
(Editor : Abe)