Skip to content

 

1980, Cerita Duka Dari Lereng Selatan Merapi

Ponijan alias Jon Poni terkesiap melihat sesosok tubuh yang berjalan di depannya tiba-tiba tergelincir jatuh ke jurang yang membentang di sisi igir yang mereka lalui. Kala itu, Jon Poni dan sejumlah rombongan pendaki sedang dalam perjalanan turun dari Puncak Merapi melintasi “Geger Boyo” (Punggung Buaya).

10 Mei 2020 / By: Yufrizal Achmad & Agus BP

Acara tabur bunga di prasasti Ismet Husein dilakukan oleh Gapadri Mapala ITNY setiap bulan September di Lereng Selatan Merapi (foto : Azis Karuniawan)

 Jon Poni bergegas turun ke dasar jurang dengan peralatan seadanya. Ia menaksir kedalaman jurang itu sekitar 100 meter. Jon Poni mendapati sesosok tubuh yang tergeletak tak bergerak penuh luka. Menyadari tak lagi bisa menemukan detak nadi dan nafas korban, Jon Poni lalu menutupi tubuh korban dengan sarungnya, ia sadar tak bakal mampu membawa korban naik seorang diri. Jon Poni bergegas naik lagi ke punggungan dan mencari bantuan.

Minggu pagi itu Agus Budi Prayogo (Agus BP) anggota MAPALA Akademi Teknologi Nasional/ATNAS (sekarang bernama Institut Teknologi Nasional Yogyakarta/ITNY) sedang camping di Bebeng bersama rekan-rekannya dari SMA BOPKRI Yogyakarta. Bebeng dan Kinahrejo adalah tempat favorit bagi penggemar kegiatan alam bebas yang tinggal di Yogyakarta, terutama di akhir pekan. Agus BP mendengar berita kecelakaan yang dikabarkan Jon Poni, ia dan rekan-rekannya bergegas menuju Kinahrejo yang tak jauh dari lokasinya camping.

Kinahrejo merupakan nama sebuah pedukuhan yang menjadi titik awal pendakian Gunung Merapi dari sisi selatan (Yogyakarta). Di dukuh ini juga berdiam juru kunci Gunung Merapi Mas Panewu Surakso Hargo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan. Agus BP bertemu rekannya di Mapala, Cliff RCM yang waktu itu menjabat sebagai ketua MAPALA ATNAS, ditemani Yufrizal Achmad (Ijub), Syuriyadi AR (Ujang) dan beberapa anggota Mapala ATNAS lainnya. Tak hanya Mapala ATNAS, hadir juga beberapa Mapala dan kelompok pencinta alam lain di Kinahrejo.

Proses Evakuasi 

Cliff RCM segera mengkoordinir pembentukan tim penyelamat (SRU/Search and Rescue Unit) yang terdiri dari gabungan beberapa kelompok pencinta alam. Ada tiga unit SRU yang dipersiapkan, Agus BP bergabung di SRU-1 yang terdiri dari tujuh orang, tiga anggota Mapala ATNAS dan empat lainnya dari Pencinta Alam Panorama dan Bethesda). Ketiga SRU ini diberangkatkan dengan jeda waktu tertentu dengan tujuan yang berbeda.

Dengan logistik dan perbekalan seadanya, SRU-1 segera berangkat menyisir jalur pendakian. Menjelang matahari terbenam SRU-1 bertemu dengan Jon Poni di batas vegetasi, mendekati area Geger Boyo. Jon Poni mengacungkan jempol kebawah, isyarat bahwa korban sudah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Jon lalu menceritakan kronologi jatuhnya korban ke jurang.

Mengingat hari yang sudah gelap, Jon Poni menyarankan SRU-1 kembali ke Kinahrejo untuk membawa informasi yang lebih akurat dan mempersiapkan evakuasi, terlebih SRU-1 tidak berbekal perlengkapan yang memadai. Seluruh anggota SRU-1 setuju dan mereka segera turun kembali ke Kinahrejo. Sesampai di Kinahrejo, SRU-1 bertemu dengan tim SAR DI Yogyakarta yang dipimpin Jamjuri dan tim unit penyelamat Paskhas AU.

SRU-1 menyampaikan semua informasi yang mereka peroleh koordinator SRU. Malam itu, Cliff RCM menyerahkan komando SRU ke Jamjuri, komandan SAR DIY.

Di bawah koordinasi SAR DIY, tim evakuasi dipersiapkan malam itu juga. Cliff RCM, Ijub dan beberapa anggota Mapala ATNAS yang masih bugar bergabung dengan tim evakuasi yang terdiri dari beragam kelompok, Mapala Unisi, Mermounc, Panorama, Bethesda, dsb.  Dengan dukungan peralatan yang lebih lengkap dan memadai, tim evakuasi berangkat.  malam itu juga ke lokasi kecelakaan. Menjelang pagi tim evakuasi sudah berada di lokasi kejadian.

Yufrizal Achmad alias Ijub, anggota Mapala ATNAS yang tergabung dalam tim evakuasi menceritakan sulitnya medan yang harus dihadapi oleh tim saat itu.

“Hari mulai terang ketika kami mulai turun ke jurang untuk evakuasi jenazah. Beberapa peralatan kami siapkan, beberapa potong batang bambu, tali temali serta kain pembungkus. Kami membungkus jenazah sedemikian rupa, mengikatnya ke tandu bambu dan secara estafet mengangkat jenazah ke atas, butuh konsentrasi tinggi agar kami tidak tergelincir jatuh”, kenang Ijub sebagaimana diceritakan ke penulis, Kamis, 07/05/2020.

Bagi Ijub muda yang kala itu juga aktif di pers kampus  ATNAS, kejadian itu menjadi pengalaman berharga baginya. Ia menjadi tahu bagaimana cara mengangkat jenazah di medan yang sulit dan terjal. Ia juga mengetahui betapa rumitnya proses membawa turun jenazah di gunung.

“Saya sempat tergelincir beberapa kali, tapi beruntung masih bisa mengatasinya. Saya menganalogikan evakuasi saat itu seperti semut yang bergotong royong mengangkat cacing”, ujar Ijub.

Ijub secara pribadi terlibat dalam proses evakuasi itu karena solidaritas sebagai sesama mahasiswa ATNAS. Ijub mengenal korban bernama Ismet Husein, mahasiswa jurusan Teknik Sipil angkatan 1976 yang berasal dari Belitung. Ismet Husein selain pencinta alam juga tergabung sebagai anggota tim sepakbola ATNAS.

Setibanya di Kinahrejo, jenazah Ismet Husein diserahkan kepada tim yang sudah dipersiapkan. Setelah melalui proses penyucian jenazah di Kinahrejo, jenazah Ismet kemudian diberangkatkan untuk diserahkan dan disemayamkan di Asrama Belitung, Yogyakarta. Pihak keluarga membawa jenazah Ismet Husein ke Pulau Belitung dan memakamkannya di kampung halaman.

Jalur Pendakian, Puncak Garuda

Puncak Garuda merupakan nama puncak Gunung Merapi yang secara umum dapat dilalui melalui tiga jalur pendakian : Lereng Selatan (jalur Kinahrejo), Lereng Barat (jalur Babadan) dan Lereng Utara (jalur Selo). Dari berbagai sisi, pendaki akan bertemu daerah yang sering disebut “batas vegetasi” (batas terakhir tumbuhan bisa hidup). Batas vegetasi merupakan jalur yang berbahaya, miring terjal dan tersusun oleh batuan lepas produk dari kubah lava (lava dome) Gunung Merapi. Tidak ada jalan setapak yang stabil dan pasti, kecuali terdapat tanda-tanda yang dibuat oleh pendaki sebelumnya.

Di lereng selatan ada nama lokasi yang terkenal di kalangan para pendaki gunung, “Geger Boyo”, nama sebuah igir atau punggungan yang mengarah ke selatan dan dibatasi jurang di kanan kirinya. Punggungan ini tersusun oleh batuan lepas produk vulkanik Gunung Merapi. Dari kejauhan igir ini menyerupai punggung buaya yang bersisik. Geger Boyo dikenal sebagai rute yang telah memakan banyak korban pendaki gunung di sisi selatan Merapi.

Erupsi tahun 2006, mengubah bentuk Puncak Garuda yang sebelumnya memiliki bayangan seperti Burung Garuda. Erupsi berikutnya pada tahun 2010, Geger Boyo runtuh diterjang guguran awan panas bertubi-tubi dari puncak Merapi. Paska erupsi 2010, jalur pendakian menuju puncak Merapi dari lereng selatan tidak lagi diperbolehkan.

Tugu Prasasti Ismet

Untuk mengenang gugurnya Ismet Husein di salah satu jurang di areal Geger Boyo, sekelompok pencinta alam yang ditengarai berasal dari SMA Negeri 6 Yogyakarta mendirikan prasasti berupa tugu bertuliskan “In Memoriam : Ismet Husein” 100 meter di atas batas vegetasi. Pada tahun 2002/2003, GAPADRI Mapala STTNAS (yang saat ini bernama GAPADRI Mapala ITNY) meletakkan cermin segitiga di tugu prasasti Ismet Husein agar mudah dikenali posisinya dari bawah. Setiap pukul 07.00 pagi pantulan cahaya matahari dari cermin yang terpasang di prasasti Ismet bisa dilihat dari Bebeng/Kinahrejo.

Sayangnya saat erupsi besar tahun 2010, tugu prasasti Ismet tersebut telah hilang tersapu guguran awan panas dari kubah lava Gunung Merapi.

Tulisan ini dibuat untuk mengenang Ismet Husein berdasarkan cerita yang dikisahkan oleh Yufrizal Achmad/Ijub (TM76), Agus BP (TG/80) dan telah dikonfirmasi oleh Cliff RCM (TM/76), Fauzi Hasan (TE/2001) dan Immanuel Sigarlaki (TE/89). 

(Editor : Abe)